“bibi, ada si X ga?”
“ngga ada, emangnya kenapa?”
“aku ngga mau main sama dia, karena dia licik. si Y aja tau makanya dia gak main sama si X”
“trus kamu main sama siapa dong?”
“aku mainnya sama dek raka”
“lho, dek raka kan masih kecil, kalau kamu gak main sama seumuran kamu bagaimana kamu bisa berkembang?”
“habis, aku bakalan kena marah kalau ketahuan mama, main sama si X”
—
sebetik percakapan itu menggelitik, sebab dilakukan oleh bocah laki-laki kelas VI SD kepada bibi di rumah kami terhadap salah seorang anak tetangga yang seumuran dengannya. FYI, raka adalah anak kami, si X adalah anak laki-laki tetangga, si Y adalah anak perempuan tetangga kami lainnya, nama keduanya sengaja kami samarkan untuk kebaikan. jelas aja si Y tidak main dengan si X, beda jenis kelamin sih 🙂
tidak sekali itu saja bocah tersebut menjelek-jelekkan temannya. pernah sebelumnya memojokkan anak tetangga lainnya dengan panggilan yang buruk. tetapi sayangnya ketika “korban” ejekannya menantang berkelahi, si bocah malah lari tunggang langgang ngumpet di kolong tempat tidur mamanya, nggak keluar-keluar hingga yakin si “korban” ejekannya pergi.
si bocah yang masih jadi anak tunggal itu, tidak hanya melakukan bullying kepada teman-temannya, tetapi sedang menumbuhkan sikap kebencian dalam dirinya kemudian mencari dukungan dari pihak lain. apabila pihak lain tersebut tidak dapat dipengaruhi, maka ia akan membencinya pula. hal ini kelak membuatnya hidup tanpa teman seorang pun. sungguh kasihan.
yang lebih menarik lagi adalah, pernyataan bocah tersebut bahwa ia melakukan itu karena ada “tekanan” dari mamanya. [jadi ingat kasus fadil, siswa sman 34 yang kabarnya ditekan oleh ayahnya untuk berbicara kepada media massa sesuai dengan keinginan ayahnya, walaupun menurut beberapa siswa sman 34 kesaksiannya itu terlalu banyak yang tidak sesuai kenyataan]
mengapa bocah tersebut berlindung di balik ketiak mamanya? jika ditelusuri ke belakang, mamanya si bocah pernah mengalami konflik dengan mamanya si X. kasus sebenarnya sudah diselesaikan secara baik-baik dengan penengah yang dianggap adil. tetapi dalam hati siapa yang tahu 🙂
yang jadi pertanyaan lagi, apakah berlindungnya si bocah di balik mamanya itu benar-benar atas suruhan mamanya atau inisiatif si bocah tersebut untuk mencari patron – pelindung, back up kelakuannya yang buruk itu.
istilah “bullying” sendiri sangat sulit dicari definisi yang resmi, namun ketika disebutkan bullying, kebanyakan sepakat bahwa tindakan itu meliputi ulah negatif yang intensif untuk menyakiti orang lain secara verbal, fisik dan koersif (intimidasi), sehingga membuat orang lain tersebut tidak nyaman, merasa takut dan dapat mengalami gangguan perkembangan jiwa.
bullying itu ada di sekitar kita, sebuah kenyataan yang harus dihadapi, bukan disikapi dengan paranoid apalagi fobia. jika pelakunya masih bocah, jadikan refleksi apakah anak-anak kita bisa saja menjadi seperti itu? dan sudah menjadi tugas sosial kita untuk mengarahkan anak-anak pelaku bullying kepada jalan yang baik. karena anak-anak kita bukan hanya yang lahir dari rahim kita, tetapi juga anak-anak yang bermain dengan anak-anak kita, yang secara moral berhak mendapat pendidikan yang baik juga dari kita sebagai orang tua sosial mereka.
banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai orang tua untuk mengurangi efek bullying itu pada anak-anak kita. yang jelas tidak dengan tindakan represif yang memperkeruh suasana. bisa baca di kids health
—
“mas kan sudah besar, tentu bisa membedakan hal-hal seperti benar-salah, dan baik-buruk?”
“iya, bi”
“mas harus bisa bermain dengan siapapun, jangan pandang bulu, kalau ada kesalahan diselesaikan dengan diskusi dan maaf, bukan dengan cara membenci seperti ini”
[citra]
Menyukai ini:
Suka Memuat...