Sebuah ungkapan yang berbunyi: “Cukuplah seseorang dikatakan pendusta jika ia menyampaikan semua yang didengarnya” [1] hendak mengatakan kepada kita bahwa dusta bukan hanya karena ketidakjujuran, namun barangkali kejujuran yang salah kaprah justru membawa kepada kedustaan. Seringkali informasi yang kita dapati dari orang lain bukanlah melulu kebenaran, oleh karenanya mekanisme cek dan ricek menjadi wajib jika kita merasa perlu menyampaikannya lagi. Jika sebuah berita yang kita dengar bukanlah hal yang perlu diteruskan, cukuplah kita membatasi diri dengan cara berdiam, mengabaikan bahkan melupakannya.
Metode Albert Einstein mungkin dapat digunakan yaitu dengan tidak membebani otak kita dengan memori yang tidak diperlukan. Atau mengenai pengajaran Zen ketika sang guru mengatakan kepada muridnya: “Sesungguhnya aku telah menurunkan wanita itu dari gendonganku sejak sampai di seberang sungai, namun engkau masih menggendongnya di dalam pikiranmu bahkan setelah jauh kita berpisah dengannya.”
Mendengar adalah menggunakan segenap potensi telinga, wajah, akal dan hati untuk menerima informasi dan menentukan seberapa besar perhatian yang perlu dicurahkan untuknya. Maka ketika mendengar (hearing) informasi yang diterima ditentukan menjadi perhatian (attention) yang menggerakan sikap menyimak (listening) supaya mendapatkan pemahaman (understanding) atau sekedar informasi yang tidak perlu diperhatikan (junk). Itulah mengapa mendengar adalah proses aktif, bukan proses pasif, dengan melakukan pemilahan informasi berdasarkan kepentingan dan kemendesakan bahkan tingkat kerahasiaan.
Salah satu dari tiga monyet berusaha mengatakan “Hear no evil”. Oleh karenanya dibutuhkan akal yang menggiring informasi dalam koridor berpikir positif atau berpikir negatif sebelum akhirnya melahirkan perilaku. Hanya orang-orang yang berpikir positif mengolah informasi itu menjadi positif. Sedangkan orang-orang yang berpikir negatif akan mengolah informasi menjadi perilaku negatif.
Sebuah kisah menyebutkan seorang perempuan bertanya kepada seorang alim tentang gosip. Sang alim menyarankan supaya perempuan itu membawa sebuah bantal dan sebilah pisau ke atap rumah, kemudian menusukkan pisau ke bantal dan memerhatikan apa yang terjadi dengan bantal tersebut. Perempuan itu mengatakan bahwa bulu bertebaran di mana-mana. Sang alim bertanya apakah ia dapat mengumpulkan kembali bulu-bulu yang beterbangan itu. Dijawabnya susah sekali karena angin telah membawanya jauh dari tempatnya semula. Sang alim mengatakan begitulah gosip berlaku.
Istilah kabar angin, kabar burung, dan gosip barangkali seperti yang dimaksud kisah itu. Memperbaikinya sangat susah. Bahkan apabila hal yang disampaikan telah merugikan orang lain, membuat orang lain teraniaya karena berita yang tidak benar. Di jaman internet seperti sekarang, lebih mudah lagi bagi kita menyebar gosip, mulai dari email, status FB, thread di milis, bahkan blog sekalipun, bahkan setelah klarifikasi yang mendamaikan pun gosip itu terus beterbangan di jagad maya.
Dua monyet lainnya pun akhirnya berusaha mengatakan: “See no evil” dan “Speak no evil”. Jika ketiga monyet itu mampu melakukannya, bukankah kita sebagai manusia lebih mampu untuk berkata baik dan positif atau lebih baik diam.
—
[1]
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)