Resensi: Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim

Tak sedikit buku yang berbicara tentang Mekkah, yang ditulis berdasarkan naskah-naskah keagamaan, sejarah,  maupun observasi sosial. Di antaranya adalah buku “Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim” [1] yang ditulis oleh seorang tokoh muda NU, Zuhairi Misrawi. Buku terbitan Penerbit Buku Kompas yang diberi kata pengantar oleh Prof. DR. Komaruddin Hidayat  ini berupaya menampilkan Mekkah dalam sejarahnya di masa sebelum Islam, di masa Islam dan di masa modern dengan segala pesona atribut yang dinisbatkan kepada kota suci itu, serta pergumulan kekuasaan yang menghiasi guratan sejarahnya, serta keteladanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Nabi Ibrahim alaihissalam sebagai peletak pondasi kehidupan Mekkah.

Penulis berharap sebagai karya akademis buku ini mampu menyajikan sejarah Mekkah tidak hanya dari sisi teologis yang akan melahirkan keyakinan dan kekaguman namun juga dari sisi sosiologis-historis yang mampu melahirkan pembelajaran dan kritik konstruktif. Rujukan utama buku ini adalah buku Shafahat min Tarikh al-Makkah al-Mukarramah terjemahan resmi berbahasa arab dari karya C. Snouck Hurgronje. Pemilihan ini mempertimbangkan bahwa tulisan Snouck bersifat partisipatoris dan menggunakan rujukan yang otoritatif. Namun begitu, sebagaimana karya akademis lainnya, sekumpulan buku-buku rujukan karya ahli masa lalu hingga masa kini, baik dari dunia Islam maupun karya orientalis dapat ditemui pada daftar pustaka, dengan maksud memberikan gambaran dan fakta yang lebih lengkap mengenai Mekkah.

Membaca buku ini seperti diajak melintasi ruang dan waktu, memenuhi harapan penulis di atas. Berangkat dari kehidupan pesantren di Madura membangun mimpi untuk mengunjungi Mekkah, ziarah ritual yang menjadi spirit keberagamaan dan cerminan para haji. Melintasi laut merah pada waktu liburan kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir untuk kemudian bekerja sebagai tenaga musiman melayani para jamaah haji. Menikmati pesona dan daya tarik Mekkah, menapaktilasi pengalaman Ibnu Jabir dan Ibnu Batutah sebagaimana mereka tuliskan dalam catatan perjalanan kedua ulama muslim itu.

Mundur jauh ke belakang, Mekkah adalah kota para nabi. Sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad shallallahu alaihimu wasallam, Mekkah telah menjadi tujuan peribadatan. Tokoh yang paling monumental adalah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail alaihimussalam yang telah membangun rumah Tuhan yaitu Ka’bah sebagaimana bentuknya yang kita kenal saat ini. Dan Ka’bah sendiri adalah pesona utama kota Mekkah, sebagai simbol ketauhidan dan persatuan umat manusia.

Napak tilas Ibrahim di Mekkah telah membuat umat Yahudi dan Nasrani terpanggil untuk mendatangi Mekkah. Di masa pra-Islam, mereka tertarik untuk mendatangi situs sejarah yang memunyai hubungan langsung dengan keluarga Ibrahim, yaitu Ka’bah. Mereka kemudian tinggal di di daerah sekitarnya seperti Yatsrib dan Najran, menjemput penggenapan nubuatan para nabi sebagaimana tertuang dalam Taurat dan Injil, yaitu kehadiran Nabi akhir zaman, pamungkas dan penutup para nabi yang akan melengkapi risalah ketuhanan dan menyelamatkan umat manusia kembali kepada fitrahnya, tujuan penciptaannya, yaitu memurnikan peribadatan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun.

Buku ini kemudian menguraikan secara deskriptif kehidupan Mekkah pada masa Islam, baik pada masa kenabian ataupun pasca wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam. Pergulatan panjang dari segi politik yang memperebutkan Mekkah sebagai pusat kekuasaan atau peribadatan ataupun kedua-duanya. Pembaca pun digiring hingga kehidupan Mekkah di masa modern dimulai dari gerakan puritanisme yang dibawa oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mendapat dukungan dari pemimpin lokal Muhammad ibn Sa’ud, pendiri dinasti Sa’ud.

Walaupun terdapat nada negatif dalam penilaian terhadap Wahabi, buku ini mengungkap beberapa apresiasi terhadap sumbangsih Wahabi pada modernitas Mekkah. Wahabi telah membangun corak tersendiri yang menghadirkan otoritas sebagai solusi untuk menciptakan stabilitas dalam konteks perebutan kekuasaan dan pemberontakan atas Mekkah yang sering muncul pada masa-masa sebelumnya.

Secara keseluruhan buku ini boleh dikatakan telah memenuhi harapan penulisnya. Namun begitu ada beberapa kesalahan yang mungkin tidak disengaja, yaitu:

  1. Pada halaman 197, disebutkan rujukan utama mengenai fakta bahwa Masjidil Haram sebagai masjid yang pertama kali dibangun dimuka bumi adalah hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar. Seharusnya rujukan yang lebih utama adalah QS Aal Imraan, 3:96 baru kemudian hadis tersebut.
  2. Pada halaman 285, disebutkan bahwa Maisarah budak Khadijah adalah budak perempuan. Padahal pada Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Rahiq al Makhtum karya Almubarakfuri, dan Biografi Rasulullah karya Mahdi Rizqullah menyebutkan bahwa Maisarah adalah budak laki-laki.
  3. Pada halaman 321, disebutkan bahwa Ibrahim mendapatkan putra dari Sarah bernama Ya’qub, padahal telah maklum bahwa putra Sarah adalah Ishaq sedangkan Ya’qub adalah anak Ishaq alaihimussalam.

Diawali dengan harapan, demikian pula buku ini ditutup. Dengan meneladani Ibrahim akan menjadikan kita sebagai umat yang berkomitmen terhadap penyerahan diri secara total kepada Tuhan, berjiwa pengorbanan yang tinggi, dan bercita-cita mewujudkan dunia yang damai tanpa kekerasan. Penulis juga melengkapi buku ini dengan panduan manasik haji dan umrah sebagai panduan praktis bagi pembaca.

AEP, Depok, 17042010

[1] Zuhairi Misrawi, Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, Penerbit Buku Kompas, 2009

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: