Waktu Isya sudah lewat satu jam ketika mobil yang kami tumpangi parkir di Jl. Nyamplungan, Surabaya. Kami berhenti di depan gerbang menuju Masjid Sunan Ampel. Sepanjang lorong dijual macam-macam pernik yang mencirikan keislaman, seperti peci, kopiah, tasbih, kitab, kaset ceramah, qiraat dan qasidah, serta kurma dan air zam-zam. Bagi saya ini kali kedua mengunjungi masjid yang didirikan oleh Sunan Ampel, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Jawa Timur, pada tahun 1400-an masehi. Sedangkan bagi teman saya ini kali pertamanya.
Setelah menunaikan shalat Isya, kami menengok lokasi pemakaman yang berada di sebelah barat masjid. Antara lokasi makam dengan masjid selain dibatasi oleh tembok masjid juga dibatasi oleh tembok makam yang terdapat lorong di antara keduanya. Papan peringatan yang terpampang menjadi panduan bagi pengunjung supaya berlaku sopan, tidak shalat di area pemakaman, dan berdoa hanya kepada Allah. Di area pemakaman juga sangat dianjurkan untuk melepas sepatu atau sandal, serta dilarangnya pengunjung berada di area pemakaman pada setiap waktu shalat berjamaah.
Memasuki area pemakaman, terdapat gentong-gentong berisi air yang berasal dari sumur untuk diminum oleh para pengunjung. Rute untuk pengunjung pria dan wanita dipisahkan untuk menghindari ikhtilat, namun begitu ada yang tidak mengindahkan rute dengan alasan rombongan. Ada 3 situs di area pemakaman yang ramai dikunjungi peziarah: Makam Sunan Ampel, adalah situs yang yang paling ramai, kemudian Makam Mbah Bolong dan Makam Mbah Soleh.
Di Makam Sunan Ampel, para peziarah ada yang duduk melantunkan kalimat-kalimat zikir secara berjamaah, ada yang duduk membaca Alquran, ada yang begitu khusyuknya hingga tertidur di atas lekar, ada juga yang hanyut dalam doa. Saya merasa hilang dalam suasana yang melarutkan itu. Teringat tentang tudingan akan quburiyun yang dilontarkan oleh para puritan. Namun teringat pula akan pembelaan kaum nahdliyin bahwa ziarah kubur adalah untuk mengingat mati dan menghormati jasa para pahlawan agama.
Saya duduk beberapa saat, bukan untuk beribadah sebagaimana para peziarah lain, tetapi untuk menelusuri kembali perjuangan Sunan Ampel dalam mendakwahkan Islam di Jawa Timur, bahkan sampai ke mancanegara. Terkadang, untuk menghayati perjuangan para pahlawan, lebih terasa jika berada di sisi kuburnya dibanding di tempat lain.
Makam Mbah Bolong terletak persis di sebelah barat pengimaman bangunan masjid lama. Alkisah ketika menentukan arah kiblat masjid Mbah Sonhaji melubangi dinding sebelah barat, dan atas karomah dari Allah, semua orang dapat melihat Ka’bah dari lubang tersebut. Sejak itu julukan Mbah Bolong disandangnya. Sedangkan Makam Mbah Soleh terdapat 9 buah. Alkisah Sunan Ampel mengeluhkan kebersihan masjid sepeninggal Mbah Soleh, kemudian atas izin Allah dia berkali-kali hidup dan mati untuk membersihkan masjid. Barulah setelah wafatnya Sunan Ampel, Mbah Soleh tidak hidup lagi.
Barangkali diperlukan kesungguhan kalangan akademisi menelusuri kesahihan kisah tersebut untuk menghilangkan kedustaan yang sangat mungkin mengiringinya.
Di kompleks tersebut terdapat juga makam seorang pahlawan nasional, KH. Mas Mansyur, kondisinya sangat bersahaja, setara dengan makam-makam keluarganya yang hanya ditandai sebuah batu nisan di atas tanah yang datar. Sepi dari peziarah, mungkin karena beliau seorang pegiat Muhammadiyah sehingga tidak memerlukan untuk diziarahi sebagaimana kalangan nahdliyah.