ramadhan datang

30 Juli, 2011

Setelah membaca khutbatul hajat, khatib di Masjid Muhammadi membaca surat Albaqarah ayat 183-185 dan menerangkan artinya, bahwa kewajiban puasa atas orang-orang yang beriman adalah sebagaimana telah ditetapkan pada umat terdahulu untuk menjadi orang yang bertakwa. Yaitu pada hari-hari yang telah ditentukan, dan diberi keringanan bagi yang sakit atau dalam perjalanan untuk tidak puasa dan menggantinya di waktu yang lain. Bagi yang mampu berpuasa tetapi berat menjalaninya maka cukup dengan memberi makan orang-orang miskin, sedangkan tetap berpuasa maka hal itu adalah lebih baik baginya. Tetapi hari-hari yang ditentukan pada ayat 184 dihapus dengan ayat 185, yaitu dengan puasa pada bulan Ramadhan, apabila telah menyaksikan bulan. Bagi yang sakit atau dalam perjalanan diberi keringanan untuk tidak puasa dan menggantinya di waktu yang lain. Sedangkan Allah menghendaki kemudahan dalam beragama, bukan kesusahan. Dan diwajibkan pula untuk menggenapkan bilangan bulan Ramadhan lalu bertakbir dan mensyukuri Idul Fitri.

Khatib menyampaikan bahwa dalam menjalani Ramadhan harus dengan kesiapan dan kesabaran. Menurut Ibnul Qayyim ada 3 tingkatan sabar: sabar dalam taat kepada Allah, sabar dalam meninggalkan keharaman pada ketaatan, dan sabar dalam meningkatkan kualitas ketaatan. Maka dalam berpuasa pun dituntut 3 kesabaran: sabar atas perintah puasa, sabar dalam meninggalkan hal-hal dapat membatalkan puasa, dan bersabar dalam meningkatkan kualitas berpuasa.

Ada pula 3 macam manusia yang menjalani puasa:

  1. mereka yang berpuasa namun tidak meninggalkan maksiat: berpuasa di siang hari, namun di malam hari tetap mabuk dan berzina. Bahkan diantaranya tetap meninggalkan shalat, padahal siapa yang sengaja meninggalkan shalat akan dihukumi kafir.
  2. mereka yang berpuasa dan berupaya meninggalkan maksiat: inilah kebanyakan manusia, bergelimang dosa di hari-hari sebelumnya, sedangkan di bulan Ramadhan berupaya keras menghapus dosa dan meraup pahala.
  3. mereka yang telah mengisi hari-harinya sebelumnya dengan ketaatan dan amal salih lalu memasuki Ramadhan dengan kesiapan jiwa dan raga serta amal salihnya pun semakin banyak lalu banyak berharap agar amalannya diterima oleh Allah.

Khatib juga menyampaikan beberapa hadits terkait dengan Ramadhan bahwa kegembiraan menyambutnya dengan penuh keimanan akan mendapat pahala dan menghapus dosa-dosa. Dibukanya seluruh pintu surga untuk menyambut orang-orang yang berpuasa. Ditutupnya seluruh pintu neraka sebagai kasih sayang Allah kepada manusia. Serta dibelenggunya setan-setan agar tidak menggoda manusia yang berpuasa. sehingga tidak ada alasan mengambinghitamkan setan apabila didapati masih ada kejahatan di bulan Ramadhan, karena itu murni datang dari hawa nafsu manusia.

Khutbah Jumat 27 Sya’ban 1432H yang disampaikan dalam bahasa Inggris itu diakhiri dengan nasihat agar sebagai orang beriman, kita mengupayakan untuk mengiringi amal salih kita dengan niat, meninggalkan maksiat dengan niat, dan membersihkan niat kita untuk memperoleh keridaan Allah. Semoga Allah memudahkan.

[29-Jul-2011, Houston, TX]


menjadi yang kalah

28 Juli, 2011

Melihat mainan Transformer di swalayan H.E.B membuat saya teringat kepada Radya, 5 tahun. Beberapa waktu yang lalu ia selalu merengek mengajak saya pergi ke KFC untuk membelikannya merchandise Transformer. Dengan bujukan apabila di hari pertama sekolahnya ia berlaku baik saya akan mengajaknya ke KFC, membeli paket Chaki, 2 sekaligus (satu buat Tsuraya, 2 tahun 9 bulan) dan mendapatkan Transformer kesukaannya. Dan berhasil, Radya pun berhasil membuat saya mengajaknya ke KFC sepulang sekolah. Sayangnya dari beberapa KFC sudah kehabisan. Jadilah kami berdua hunting KFC, dan mendapatkan satu-satunya Optimus Prime yang tidak dalam kemasan dan Star Scream yang masih dalam kemasan.

Kedua mainan itu pun jadi senjata andalan ketika Radya tidak melaksanakan kewajiban sederhana yang dibebankan kepadanya: bersekolah, tidur siang, dan tidak menjaili adiknya. Suatu ketika Radya mengatakan kepada saya bahwa seharusnya ia tidak memainkan Optimus Prime maupun Bumblebee melainkan memainkan Star Scream. Diketahui bahwa Optimus Prime dan Bumblebee berada di barisan Autobot yang membela kelangsungan hidup manusia dan seringkali berada di pihak yang menang. Sedangkan Star Scream adalah salah satu Decepticon yang membela kelangsungan hidup para robot dengan mengambil energi dari bumi, dan walaupun mengalami beberapa kemenangan selalu menjadi pihak yang kalah.

Melihat Megatron, pimpinan Decepticon, saya mengingat kembali percakapan saya dengan Radya. Memang bukan hanya sekali ia mengatakan hal yang serupa demikian, tetapi di usianya yang masih kanak-kanak itu ia telah melakukan pemikiran ilmiah sederhana dengan bermain peran di sisi yang berseberangan. Teman-teman Radya bermain Autobot, kalau Radya juga bermain Autobot lalu siapa yang menjadi Decepticon? Barangkali demikian.

Padahal peran protagonis maupun antagonis adalah tergantung dari persepsi penonton. Bisa jadi pemeran justru memainkan perannya dengan sangat baik sehingga menguatkan persepsi itu atau bahkan membantahnya. Menjadi Decepticon tidaklah harus menjadi jahat, walaupun terpaksa menjadi yang kalah. Decepticon melakukan invasi ke bumi karena mendapatkan mineral yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup para robot di planet mereka, menurut si empunya cerita.

Mirip dengan VOC atau para invader di masa lalu bahkan masa kini, demi kelangsungan hidup klan atau golongannya. Dan hal itu merupakan ketetapan alamiah bahwa yang menang adalah mampu mempertahankan diri, sedangkan yang kalah adalah yang binasa, bagaimanapun mereka saling memangsa.

Lalu jika Radya memilih menjadi yang kalah tentu bukanlah suatu keburukan, apalagi kalau memandang usia yang secara duniawi masih lama, karena kekalahan dan kemenangan seharusnya tidak diukur dengan ukuran dunia. Justru saya melihat kepedulian Radya kepada komunitas yang terpinggirkan dan yang dikalahkan. Kepedulian yang perlu diarahkan agar ianya menjadi maslahat bukan mafsadat.

Dan peran saya sebagai orang tuanya bertugas untuk membimbing dan mengarahkannya, tentu mau tidak mau dapat membuat saya menjadi pihak yang kalah pada bentuk peran yang lain. Apabila itu terjadi bukanlah suatu keburukan. Karena saya telah memutuskan menjadi orang tuanya bahkan jauh sebelum kelahiran Radya, yaitu ketika mempersunting ibunya. Semoga Allah memudahkan.

Kemudian, Megatron seharga $8 itu pun masuk ke dalam keranjang belanja saya sebagai oleh-oleh buat Radya 🙂


jadilah pembantu yang cerdas dan berkhidmat

5 Juli, 2011

Muamalah antara majikan dan pembantu adalah pembahasan yang tidak akan habisnya karena merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dalam tulisan (maafkanlah ia setiap hari tujuhpuluh kali) telah disebutkan bagaimana adab dan sikap yang baik yang dinasihatkan oleh teladan manusia sepanjang zaman. Terhadap budak yang hak-haknya dimiliki penuh oleh tuannya saja kita diperintahkan untuk berbuat baik apalagi terhadap pembantu yang merupakan orang merdeka. Sehingga berlakulah hak-hak orang merdeka terhadap pembantu, di antaranya memiliki hak diperlakukan dengan baik dan memiliki hak kehidupan. Maka dalam tulisan ini membawakan teladan yang dilakukan oleh Rasulullah salallahu alaihi wasalam, dan pembantunya Anas bin Malik radiyallahu anhu.

Dikisahkan oleh Anas bin Malik bahwa ketika Nabi pertama kali masuk ke kota Madinah beliau tidak memiliki seorang pembantu. Lalu Abu Talhah memegang tanganku dan mengajak aku pergi ke hadapan Nabi dan berkata: “Wahai Nabiyullah, sesungguhnya Anas adalah anak yang cerdas, mohon jadikan ia sebagai pembantumu.” Maka aku pun membantu beliau saat safar maupun ketika di Madinah sampai Rasulullah wafat. Selama aku membantu Nabi, adalah beliau tidak pernah berkata untuk apa yang aku kerjakan, “mengapa kamu melakukan ini?” atau untuk apa yang tidak aku kerjakan, “mengapa kamu tinggalkan ini?” [HR. Albukhari]

Abu Talhah adalah suami dari Ummu Sulaim, ibunya Anas bin Malik, dengan kata lain beliau adalah ayah tiri Anas bin Malik.

Anas bin Malik telah membantu Rasulullah sejak hijrah ke Madinah hingga wafatnya, yaitu sekitar sepuluh tahun. Dan selama itu sebagai pembantu ia tidak pernah dipertanyakan untuk hal-hal yang dia kerjakan ataupun yang ditinggalkan. Ini menunjukkan bahwa begitu besar kepercayaan Rasulullah kepada pembantunya sehingga beliau tidak perlu mengomentari hal-hal yang dilakukan ataupun ditinggalkan oleh pembantunya. Kepercayaan yang besar ini tentulah tidak didapatkan begitu saja tanpa terpenuhinya di antara syarat-syarat berikut:

1. Kecerdasan, telah disebutkan bahwa Anas adalah anak yang cerdas, dengan kecerdasan yang dimilikinya ia mampu memahami dan memenuhi keperluan-keperluan Rasulullah sebagai majikannya, mengenal apa yang disukai dan tidak disukainya, dan

2. Perkhidmatan, disebutkan juga bahwa Anas telah membantu Rasulullah selama sepuluh tahun sedangkan tidak pernah mendapat komplain maka hal ini menunjukkan betapa besar perkhidmatan yang diberikan oleh Anas kepada majikannya, yaitu dengan memenuhi perintah, menjaga kehormatan majikannya, dan tidak membuat majikannya kecewa ataupun marah sedikitpun karena selalu memberikan yang terbaik dalam perkhidmatannya.

Jika demikian yang diharapkan dari pembantu maka yang diharapkan dari majikan yaitu akhlak yang baik, sikap lapang dada dan pemurah hati sebagaimana berikut:

Anas bin Malik mengisahkan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berangkat, tetapi aku menuju anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukannya melaksanakan tugas Rasul, aku ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan apa yang diperintahkan Rasulullah. Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah, dengan tersenyum dia berkata, “Wahai Anas kecil, apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?” Maka aku pun salah tingkah dan menjawab, “Ya, sekarang aku berangkat, Rasulullah.”

rujukan:

  1. Kitab Al-Adabul Mufrad, karya Imam Albukhari
  2. Kitab Shuwaru min Hayatis Shahabah, karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya

makin berilmu makin sedikit bicara

1 Juli, 2011

Salah satu yang dibanggakan manusia saat ini adalah kemampuan dan keahlian dalam berbicara. Seminar-seminar diadakan untuk memberikan ilmu pengetahuan tentang berbicara di hadapan khalayak ramai. Ilmu retorika yang mampu menyihir pendengarnya sampai-sampai mereka menyimpulkan ketinggian ilmu adalah dengan banyaknya ucapan dan pembicaraan yang disampaikan. Bahkan di antara mereka ada yang beranggapan bahwa keilmuan yang ada pada para pengkhotbah zaman belakangan jauh lebih tinggi daripada para ulama zaman dahulu. Sementara para ulama telah menyibukkan diri mereka menuntut ilmu (alquran dan assunnah) dan mengajarkannya kepada umat daripada duduk dalam majelis yang berisi debat kusir atau khotbah-khotbah panjang yang kosong makna.

Orang-orang yang suka berbicara itu mengisi majelis-majelis yang sangat diminati oleh manusia, maka hadis pun menjadi hasil diskusi dan ayat menjadi asal nyangkut. Naudzubillahi min dzalik. Bahkan manusia-manusia yang duduk di dalamnya adalah manusia-manusia yang memang suka dengan pembicaraan-pembicaraan yang tak jelas, senang mendebat, menjatuhkan pendapat, kepingin memenangkan opini, tidak peduli dengan dalil dan kebenaran, bahkan mengusung kenisbian akan kebenaran dan kebaikan. Padahal sudah jelas bahwa yang benar itu baik, sedangkan yang baik itu belum tentu benar, dan tidak selalu yang baik dan benar itu disukai.

Barangkali dua tangkai peribahasa kuna ini sudah tidak ada di dalam pelajaran sekolah dan membekas di dalam hati sanubari mereka: “Ikutilah ilmu padi, makin berisi makin merunduk” dan “Tong kosong nyaring bunyinya”. Barangkali mereka tidak menyimak bagaimana Abdullah Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu berkata: ” Sesungguhnya di masa kalian ini masih banyak ulamanya dan sedikit pengkhotbahnya. Akan datang suatu masa di mana sedikit ulamanya sedangkan banyak para pengkhotbahnya.” Barangkali juga mereka tidak memerhatikan bahwa tidaklah Rasulullah salallahu alaihi wasalam berkata-kata kecuali dapat dihitung jumlah kata-katanya karena saking sedikitnya beliau berbicara namun begitu dalam makna yang terkandung di dalamnya.

Oleh karenanya Nabiyullah Muhammad pernah berpesan: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau (lebih baik) diam.”

rujukan lanjut: Kitab Fadli Ilmi Salaf ala Ilmi Khalaf, karya Ibnu Rajab


%d blogger menyukai ini: