28 Februari, 2013
Sejak awal Tsuraya tidak suka dengan sandal kelinci sehingga dibiarkan saja sandal tersebut menganggur begitu saja. Ketika adiknya, Athiya sudah mampu mengenakan sandal dan senang dengan sandal kelinci, Tsuraya menggugatnya.
“Itu kan sandal Aya!” sungut Tsuraya sambil berupaya merebutnya dari kaki adiknya. Athiya pun mempertahankan diri sambil mengerang, “Heeeh.”
“Sudahlah, Tsuraya. Nanti kalau adikmu bosan juga akan dilepasnya. Lagipula mana muat lagi sandal itu dengan kakimu?” ujar Bubu menengahi pertikaian.
***
“Baba mau ke mushala. Siapa ikut?” ajak Baba kepada anak-anak. Radya langsung beranjak pergi setelah berwudhu di rumah sedangkan Tsuraya meraih kerudungnya lalu segera mengenakan sandal kelinci incarannya yang sedang tidak dipakai Athiya.
Selesai salat, Baba tidak lagi mendapati Radya maupun Tsuraya di mushala. Tidak pula sandal Baba, hanya sepasang sandal kelinci tertinggal di halaman. Baba memungut sandal kelinci itu dan berjalan pulang tanpa alas kaki. Di jalan, Tsuraya mengadang tanpa kerudung dan memakai sandal Baba yang kebesaran untuk ukuran kakinya berkata,”Kok, Baba gak pake sandal?” Baba tersenyum, “Kan, sandalnya dipakai Tsuraya?”
“Kalau ayam ga pakai sandal, ya Ba?” tanya Tsuraya. “Iya, mana ada sandal yang pas untuk kaki ayam?” jawab Baba. “Baba, seperti ayam dong?” kata Tsuraya. “Heh, masa Baba harus pakai sandal kelinci? Mana muat?” Baba balik bertanya kepada Tsuraya yang disambut dengan ketawa, “Habisnya sudah kekecilan sandalnya, Ba.”
“Makanya Tsuraya kan gak perlu merebut sandal yang dipakai adik Athiya,” nasehat Baba, “sesuatu yang sudah tidak muat dan pas lagi buat kita, biarlah menjadi milik orang lain yang lebih membutuhkan dan lebih menyukainya.” Kemudian Tsuraya berkata, “Nanti Tsuraya dibelikan sandal kelinci yang lebih besar, ya?” :p
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
bilik keluarga | Ditandai: athiya, ayam, Baba, berbagi, Bubu, kaki, kelinci, kerudung, mushala, radya, sandal, tsuraya |
Permalink
Ditulis oleh andi
25 Februari, 2013

Pada acara wisuda di suatu universitas, Brian Dyson, CEO Coca-Cola Enterprises, pernah berbicara mengenai hubungan antara pekerjaan dengan komitmen-komitmen lainnya yang kita miliki:
“Bayangkan bahwa hidup seperti bermain sulap dengan lima bola di udara. Anda dapat menamai bola-bola itu – pekerjaan, keluarga, kesehatan, sahabat dan jiwa – dan Anda menjaga kelimanya supaya tidak jatuh. Anda akan segera mengerti bahwa pekerjaan seperti bola karet. Jika Anda menjatuhkannya, ia akan memantul.
Tetapi keempat bola lainnya – keluarga, kesehatan, sahabat dan jiwa – terbuat dari kaca. Jika Anda menjatuhkan salah satunya, bola-bola itu lecet, retak, gompal, rusak, atau bahkan hancur. Walaupun dengan susah payah diperbaiki, tidak akan seperti semula keadaannya.”
Bola kaca yang mudah pecah tidak sama dengan bola karet yang elastis, bahkan bola kaca lebih berharga. Namun mengapa banyak di antara kita yang terus menerus menjaga bola karet dan mengabaikan bola-bola lainnya yang terbuat dari kaca?
Demi pekerjaan kita rela mengorbankan dan menghancurkan keempat hal tersebut? Keluarga terbengkalai, sakit-sakitan, sahabat dan rekan kerja disikut, bahkan jiwa ikut terganggu gara-gara mementingkan karir dan pekerjaan.
Mari kita perbaiki prioritas kita. Tentu saja mementingkan keluarga, kesehatan, persahabatan, dan kejiwaan bukanlah sikap egois. Melainkan sikap untuk mempertahankan agar kita dapat menjaga kesemuanya.
(refleksi)
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
bilik keluarga, sumur di ladang | Ditandai: bola, brian dyson, ceo, coca cola, egois, jiwa, kaca, karet, karir, keluarga, kesehatan, pekerjaan, prioritas, sahabat, sulap |
Permalink
Ditulis oleh andi
13 Februari, 2013
Akhirnya tidak tahan juga Radya ingin membelanjakan uang tabungannya. Ketika diajak ke Living Plaza Cinere untuk membeli knock down shelf di Ace Hardware, mampir dulu ke Toys Kingdom untuk melihat-lihat mainan yang bakalan dibeli. “Oke, kalian mau belanja mainan?” tanya Baba disambut anggukan oleh Radya dan Tsuraya yang mulai merengek juga minta dibelikan mainan. “Kalian bawa uang?” Baba bertanya dan dijawab dengan gelengan, kemudian Baba berkata, “Bagaimana kalau hari ini kalian melihat-lihat mainan yang akan dibeli lalu beberapa hari lagi kita datang untuk berbelanja.” Dengan gembira mereka berdua menyahut, “Asyik!” Buru-buru baba menambahkan, “Tapi…, belanjanya pakai uang tabungan kalian dan hanya belanja 1 buah mainan setiap orangnya. Bagaimana?” Radya dan Tsuraya berpandangan lalu bertanya, “Boleh beli mainan apa aja, Ba?” Baba mengangguk setuju kemudian Radya menjawab, “Boleh deh, kan uangnya masih bisa ditabung, ya Ba?”
Di rumah, Radya sudah merencanakan untuk membeli mainan Angry Birds, Tsuraya juga berencana membeli Barbie. Hampir tiap hari membicarakan mainan angry birds dan barbie hingga hari yang dinanti pun tiba. “Ba, kita bawa HotWheels ya,” kata Radya, “buat dimainkan di treknya.” Sesampai di Toys Kingdom, langsung menuju trek HotWheels, sayang cuma bawa 1 mobil-mobilan. “Habisnya tadi HotWheels yang satunya lagi dimainin Tsuraya dan gak kebawa waktu pergi,” Radya menjelaskan. Kemudian Radya melihat-lihat mainan Transformer, senapan mainan, dan sebagainya. Tsuraya juga melihat-lihat mainan anak-anak perempuan, alat make-up, glitters, boneka bayi dan Barbie. Mulanya Tsuraya berminat dengan boneka bayi yang bisa gosok gigi, pipis dan ganti popok, namun ketika pramuniaganya memeragakan menyikat gigi bayi yang putih dan bertanya kepada Tsuraya, “Coba lihat gigi, Kakak!” ia pun mengurungkan niatnya membeli boneka bayi tersebut.
Radya datang membawa kotak mainan Angry Birds yang diincarnya dan menagih uangnya untuk membayar di kasir sementara Tsuraya masih memilih boneka Barbie yang ingin dibeli. Masing-masing dari mereka membawa beberapa lembar uang Rp100 ribuan yang Baba ambil dari uang tabungan mereka kemudian menyerahkannya kepada kasir untuk membayar mainan. Bubu bersama Athiya yang sedari tadi turut menemani berbelanja berkata, “Rawat baik-baik mainannya, ya. Setiap kali selesai bermain jangan lupa membereskan dan menyimpannya kembali.” Radya bertanya, “Besok boleh beli mainan lagi, Bu?” Bubu tersenyum dan menjawab, “Boleh, tapi nanti 6 bulan lagi. Sekarang uangnya ditabung lagi, sehingga cukup untuk belanja mainan 6 bulan kemudian.”
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
bilik keluarga, celengan pundi | Ditandai: ace, ace hardware, anak-anak, angry birds, athiya, Baba, barbie, bayi, boneka, Bubu, celengan, cinere, game, gosok, hardware, hotwheels, kasir, keuangan, living plaza, mainan, mainan anak, manajemen, mattel, mobil-mobilan, perempuan, radya, rovio, space, tabungan, toys kingdom, transformer, tsuraya, uang |
Permalink
Ditulis oleh andi
11 Februari, 2013
sebagai pemegang gff gold berhak mendapat fasilitas garuda executive lounge/ gff lounge di bandara domestik untuk 1 orang. sebagai penumpang kelas bisnis juga berhak mendapat fasilitas garuda executive lounge di bandara domestik untuk 1 orang. (di beberapa bandara meminta kartu undangan/invitation card yang berwarna biru). maka sebagai pemegang gff gold sekaligus penumpang kelas bisnis saya beranggapan berhak mendapatkan fasilitas lounge untuk 2 orang.
di terminal 2F bandara soetta cengkareng saya pergi ke garuda executive lounge bersama seorang teman perjalanan yg duduk di kelas ekonomi. tetapi petugas lounge menolak dan menjelaskan bahwa jika saya pemegang gff platinum maka dibolehkan menikmati fasilitas lounge untuk 2 orang. kemudian petugas menyarankan ke gff lounge. pada mulanya kamipun ditolak, namun saya membujuk sehingga petugas meminta advis supervisornya dan kami dibolehkan masuk dengan jatah 1 orang dengan kartu gff gold dan 1 orang lagi dengan status penumpang bisnis.
tidak demikian halnya di bandara palembang. petugas lounge syailendra/garuda executive lounge menolak kami dan ditegaskan lagi dengan menelepon petugas cek in, dengan alasan nama yang tertera dalam kartu invitation atas nama saya sehingga tidak boleh satu nama dicatat 2 kali. saya mencoba membujuk namun akhirnya harus mengalah dan membayar Rp50 ribu agar teman saya dapat turut masuk ke lounge bersama saya.
😦
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
jalan setapak | Ditandai: advis, bandara, bisnis, card, cek in, cengkareng, domestik, ekonomi, eksekutif, executive, fasilitas, flyer, frequent, garuda, gff, gold, invitation, kartu, kelas, lounge, palembang, penumpang, petugas, platinum, soekarno-hatta, soetta, sultan mahmud badaruddin ii, supervisor, syailendra, terminal 2f, undangan |
Permalink
Ditulis oleh andi
11 Februari, 2013
Sebagian umat merasa ada yang salah dalam keberagamaan mereka sehingga terus menerus berada dalam kehinaan: keterpurukan ekonomi dan kemiskinan, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan dalam hal kekuasaan, hilangnya kebanggaan sebagai umat yang besar. Mereka mencoba bangkit dan mengentaskan diri mereka dari semua kehinaan melalui pemberdayaan ekonomi umat dan pembiayaan berbasis syariah; membangkitkan semangat kewirausahaan melalui perdagangan, peternakan dan pertanian; mengetuk hati para dermawan untuk rumah sakit-rumah sakit dan sekolah-sekolah gratis yang dapat dinikmati kalangan ekonomi lemah; berjuang untuk penegakan syariah melalui sistem politik dan hukum; hingga tuntutan kembali kepada kekhalifahan sebagai pengejawantahan kekuasaan.
Tetapi perubahan secara signifikan tidak kunjung datang walaupun sepertinya tidak ada yang salah dengan cara-cara perubahan yang mereka tawarkan, karena Allah –jalla jallaluhu– sendiri telah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” [QS Ar-Ra’d: 11]
Bisa jadi, upaya pengentasan diri dari lembah kehinaan tidak berhasil karena cara pandang yang salah terhadap perubahan itu sendiri. Bisa jadi karena kita terlalu asyik dengan embel-embel dan slogan tanpa menyadari bahwasanya tidak ada bedanya secara praktik antara label syariah dengan praktik ribawi. Bisa jadi karena perniagaan, peternakan, dan pertanian telah melenakan kita sehingga lalai dari kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan seperti salat lima waktu dan berzakat. Bisa jadi pula orientasi kemakmuran duniawi membuat kita lupa dari perkara jihad.
Barangkali, kita perlu renungkan kembali solusi ilahiah sebagaimana yang ditawarkan oleh hadits berikut:
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda: “Jika kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (riba), mengikuti ekor sapi, ridla dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud)
Wallahu waliyyut taufiq.
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
jendela surau | Ditandai: agama, Allah, duniawi, ekonomi, embel, hadits, hukum, ilahiah, inah, jihad, kegemilangan, kehinaan, kejayaan, kekuasaan, kemakmuran, kemiskinan, kesehatan, kewirausahaan, khalifah, khilafah, label, muhammad, orientasi, pemberdayaan, pembiayaan, pendidikan, perdagangan, perniagaan, pertanian, peternakan, politik, praktik, riba, ribawi, rumah sakit, salat, sapi, slogan, solusi, sosial, syariah, zakat |
Permalink
Ditulis oleh andi
1 Februari, 2013
Ibnu Umar mengatakan: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dahulu menyerahkan tanah khaibar (untuk digarap), dengan upah setengah dari hasil buah dan pertaniannya. Dari hasil tersebut, beliau bisa menafkahi para istrinya sebanyak 100 wasaq pertahun. 80 wasaq berupa kurma, sedang 20 wasaq berupa sya’ir (jewawut/malt). Pada saat Umar menjadi khalifah, dia membagi (tanah khaibar itu), dan memberikan pilihan kepada para istri Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, antara mengambil tanah dan pengairannya, atau (seperti sebelumnya) menerima hasilnya beberapa wasaq tiap tahunnya. Dan pilihan mereka berbeda-beda, ada yang memilih tanah dan pengairannya, ada juga yang memilih menerima hasilnya beberapa wasaq. Adapun Aisyah dan Hafshah, mereka berdua memilih mengambil tanah dan pengairannya. [HR Muslim]
Hadits tersebut diletakkan oleh Imam Muslim pada bab Musaqah pada Kitab Muzara’ah dalam kumpulan Shahih-nya. Secara bahasa, muzara’ah berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti memberikan tanah kepada petani agar dia (pemilik tanah) mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya sepertiga, seperdua atau lebih banyak atau lebiih sedikit dari itu. Musaqah adalah menyerahkan kebun beserta pohonnya, kepada pekerja, agar dirawat, dengan upah dari sebagian hasil buahnya. Hadits tersebut dijadikan dalil praktik muamalah mengambil manfaat dari hasil kebun atau sawah milik sendiri yang digarap oleh orang lain.
Di dalam hadits tersebut disebut bahwa praktik musaqah dilakukan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- terhadap tanah khaibar. Tanah khaibar diperoleh sebagai harta rampasan perang Khaibar yang berlangsung di penghujung bulan Muharam pada tahun ke-7 H. Karena tidak memungkinkan untuk dibawa ke Madinah, maka kebun kurma dan malt yang ada diserahkan kepada petani Yahudi (yang dahulu memilikinya) untuk digarap dengan upah sebesar setengah dari hasil pertaniannya. Hal ini menjadi dalil dibolehkannya bermuamalah dengan orang-orang Yahudi maupun non muslim lainnya.
Dari hasil pertanian yang menjadi hak kaum muslimin, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dapat memberi nafkah kepada para istrinya sebanyak 100 wasaq pertahun dengan perincian 80 wasaq berupa kurma, sedang 20 wasaq berupa malt. Secara matematis, 1 wasaq adalah 60 shaa’, sedangkan takaran 1 shaa’ setara dengan 2,5 kg. Sehingga nafkah sebesar 100 wasaq per tahun setara dengan 15 ton dengan pembagian 12 ton kurma dan 3 ton malt. Dengan demikian setiap bulannya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- menafkahi para istrinya sebesar 1,25 ton hasil pertanian. Apabila menggunakan perbandingan harga saat ini (2012) dimana 1 kg kurma berkualitas baik adalah Rp100 ribu dan 1 kg malt berkualitas baik adalah Rp50 ribu, maka nafkah yang dikeluarkan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- setiap bulannya kurang lebih senilai Rp112,5 juta.
Pada tahun ke-7 H hingga wafatnya, Nabi -shallallahu alaihi wasallam- masih memiliki 9 orang istri dan 1 orang selir. Khalifah Abu Bakar –radhiyallahu anhu- tetap melanjutkan hak nafkah para ummul mukminin tersebut hingga di masa Khalifah Umar bin Khattab –radhiyallahu anhu– mengubah mekanisme pembagiannya.
Hal ini mengandung pelajaran bagi para suami untuk memperhatikan keluarganya dengan memberikan nafkah yang layak dan cukup yang bersumber dari harta yang halal dan berkah. Dimana nafkah tersebut masih dapat dinikmati keluarganya bahkan jauh setelah si suami wafat. Hal ini juga mengandung pelajaran bahwa khalifah sebagai pemerintah dapat campur tangan ke dalam masalah hak-hak pribadi apabila melihat maslahat yang lebih baik sehingga dapat bermanfaat lebih bagi kelangsungan bernegara. Wallahu a’lam.
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
beranda, bilik keluarga, jendela surau | Ditandai: abu bakar, aisyah, berkah, buah, cukup, gantang, hadits, halal, ibnu umar, imam muslim, istri, jewawut, juta, kebun, kg, khaibar, khalifah, kurma, layak, Madinah, malt, manafkahi, manfaat, maslahat, muamalah, muharam, musaqah, muslim, muzaraah, Nabi, nafkah, pemerintah, penggarap, pertanian, pohon, sawah, sejahtera, selir, sewa, shaa', shahih, suami, syair, ton, umar bin khattab, upah, wafat, wasaq, yahudi |
Permalink
Ditulis oleh andi