Ketika GA426 terlambat takeoff dari Cengkareng, saya hanya dapat pasrah jika setibanya di Denpasar tidak mengejar penerbangan berikutnya ke Perth jam 20.45. Untunglah pesawat mendarat tepat jam delapan malam, masih ada waktu setengah jam.
Mobil boogie yang disediakan oleh Garuda memfasilitasi transfer dari terminal domestik ke terminal internasional. Berbekal boarding pass yg dicetak di Cengkareng, saya bersegera menuju loket pajak bandara kemudian ke imigrasi. Mesin autogate tidak berhasil mengenali paspor saya sehingga harus mengantri di depan petugas imigrasi.
Begitu Indonesia (Truly Indonesia), kesan saya terhadap tata letak vendor dan duty free di dalam terminal internasional. Penumpang harus melalui toko-toko dan restoran di kanan-kiri sepanjang lorong sempit yang dibuat memutar sebelum mencapai ruang tunggu.
Sampai di ruang tunggu, penumpang GA728 belum dipanggil untuk naik pesawat. Menunggu setengah jam terdengar pengumuman pesawat yang akan kami tumpangi baru saja mendarat. Seorang perempuan bule bertanya ke petugas apakah pesawatnya baik-baik saja. Puas dengan jawaban petugas perempuan bule itu berkata, “that is good.”
Saya belajar lagi bagaimana melihat kebaikan dalam segala hal. Keterlambatan penerbangan selama itu baik-baik saja, mestinya tidak jadi masalah. Seringkali masalah malah muncul ketika kita mengambil sikap yang menghadirkannya.