Belum habis kubaca al-kahfi, sesekali kupandang wajahmu pasrah. Tak lagi mampu kukenali desah napasmu. Air matamu menitik, mengiba keridaanku.
Kuhampiri telingamu, kembali menalqin tahlil. Engkau mengangguk setuju. Hatimu tiada terhalang, bahkan oleh alat-alat medis yang membatasimu.
Kesejukan menjalar dari kakimu, kudapati diriku mengelak. Mencoba menepis malakul maut, mengharap ia menunda tugasnya sesaat saja.
Tersentak aku oleh teguran keras:
إِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَلَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُون
(10:49)
Siapalah aku yang terus memaksa, menahanmu untuk tetap tinggal, sedangkan engkau sudah mengikhlaskan dirimu?
Pandangan matamu mengikuti ruhmu, keluar dengan penuh sakinah. Dari jasad yang diamanahkan oleh Allah sepanjang hidupmu.
Bagaimanakah denganku? Di telingamu kubisikkan lagi, tahlil. Tampaknya bukan lagi untukmu, melainkan untukku sendiri, meredam amarah membuncah.
CPR!
3×30 pun tidak sanggup denyutkan lagi jantungmu. Ternanar aku, harus merelakanmu.
Engkau pergi, Bapak.
Aku gigih mengharap engkau pulang menuju kampung yang damai.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْه
***
(nd, 16041436 / 06022015) – with Febrianto
View on Path