Tukang roti

24 Agustus, 2015

Sore ini di masjid, saya berjumpa tukang roti keliling yang memikul peti rotinya. Ada roti pisang, coklat, keju, soes. Teringat masa kecil dulu, bapak suka membeli roti di tukang roti keliling untuk kudapan anak-anaknya. Setelah memesan beberapa roti, saya bertanya kepada si penjual roti harga yang harus saya bayarkan. Ia menjawab, “Enam ribu.” Terkejut saya dengan harga yang disebutkan untuk tiga potong roti yang saya beli. 
Aduhai murah sekali. Tak mudah bagi saya membayangkan betapa jauh jarak yang harus ia tempuh dibandingkan dengan roti yang dijualnya dengan harga dua ribu rupiah saja sepotong? Kekaguman saya bertambah kepadanya yang menyempatkan untuk menunaikan salat. Betapa banyak manusia yang mencari rezeki namun melupakan kewajibannya kepada Sang Pemberi Rezeki.

@ndi, 24082015


mengubah nasib

21 Agustus, 2015

image

“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Kalimat ini seringkali dijadikan oleh para motivator usaha dalam membakar semangat peserta pelatihan.

Kemudian para peserta itupun banting tulang siang dan malam demi mengejar impian mereka untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.

Eh, tunggu dulu. Nasib?

Kalau dibaca ayat yang dijadikan dalil tentang perubahan nasib ini, yaitu QS 13:11 (quran.com/13/11) justru tidak bicara tentang nasib. Ah, masa?

Ayat itu bicara tentang kondisi atau keadaan. Secara default Allah telah membuat manusia dalam kondisi yang paling baik dan berkelengkapan.

Coba tengok QS 95:4-5 (quran.com/95/4-5). Kemudian manusia menyalahgunakan kelengkapan itu, sehingga dikembalikan ke tempat yang paling rendah.

Kita harus merekonstruksi pemahaman ayat QS 13:11 menjadi:

Allah tidak akan mengubah kondisi yang ada pada suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka (memperburuk keadaannya).

Buruknya keadaan disebabkan oleh perbuatan dosa dan kerusakan yang dilakukan oleh manusia, menjadikan kebaikan yang telah Allah berikan pun hilang.

Kok bisa begitu? Waduh.
Selama ini kita salah kaprah dalam memaknai ayat itu, dong?

Lalu, bicara tentang nasib, bagaimana caranya mengubahnya menjadi lebih baik?

Bukankah Allah telah menjanjikan kepada orang yang bersyukur atas nikmat yang diberikan dengan tambahan karunia, sebagaimana Dia mengancam orang yang mengingkari nikmat dengan azab yang pedih?

Iya?

Nah, kalau kita mau mengubah nasib,  maka langkah awal adalah dengan bersyukur.

Alhamdulillah, begitu?

Bersyukur itu progresif bukan pasif.

Kondisi default adalah modal awal. Bagaimanapun mesti disyukuri. Inilah yang disebut dengan, “bersyukur dengan apa yang ada”.

Langkah berikutnya adalah mengoptimalkan modal awal tersebut, potensi dan asetnya, serta kelengkapan yang telah Allah berikan.

Dengan demikian bersyukur akan mendatangkan sebab sehingga Allah menambahkan nikmat kepadanya.

Langkah selanjutnya, tetaplah bersyukur. Yaitu mengakui bahwa kemampuan kita dalam mempergunakan nikmat Allah sejatinya adalah kehendak Allah juga.

Kalau tidak, ingatlah akan azab Allah yang pedih. Silakan lihat kisah pemilik dua kebun yang disebut pada QS 18:32-44 (quran.com/18/42-44).

Maka untuk mengubah nasib, kita mesti banyak bersyukur. Sebaik-baik ungkapan syukur adalah menjaga hak-hak Allah untuk diibadahi tanpa mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun.


hari kemerdekaan

18 Agustus, 2015

image

Tanggal 17 Agustus di kalender di tandai dengan warna merah. Secara umum menandakan hari libur. Tetapi bagi pelajar dan pegawai negeri begitu juga pegawai swasta rekanan pemerintah, hari tersebut adalah hari upacara bendera dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Pagi-pagi sekali, mereka berangkat menuju ke tempat upacara. Ada yang berjalan kaki, mengendarai motor atau mobil, ada pula yang naik angkutan umum. Mereka mengenakan baju seragam dengan kode pakaian yang ditetapkan oleh masing-masing institusi.

Di jalanan yang lengang, karena hari libur, banyak kendaraan melaju kencang, melampaui batas kecepatan yang diizinkan. Di saat lampu lalu lintas berwarna merah, banyak pengendara sepeda motor yang berhenti di atas zebra cross, menyusahkan penyeberang jalan.

Di dalam upacara pengibaran bendera, kebanyakan perkhidmatan adalah seremonial. Penghormatannya semu. Mengheningkan cipta menjadi begitu bising. Peringatannya tidak lain adalah perayaan. Selepas itu makan-makan, diiringi musik dan lagu-lagu kebangsaan.

Di kampung-kampung, terpasang umbul-umbul dan pernak-pernik tujuhbelasan. Arak-arakan pawai di sepanjang jalan desa. Tanah lapang menjelma arena perlombaan dan panggung gembira. Nyaris, nilai-nilai perjuangan para pahlawan hanya sebaris kenangan di buku sejarah.

Anak-anak Rumah Belajar Ibnu Abbas, pada hari itu juga berangkat pagi-pagi. Bukan untuk upacara bendera, pawai maupun perlombaan. Melainkan untuk belajar, berjuang menghapal Alquran, mengamalkan perkhidmatan yang selayaknya. Bahkan turut menyalati jenazah yang wafat pada hari itu.

Anak-anak itu bersemangat menghidupkan nilai-nilai perjuangan. Bagi mereka, “Ayo Kerja” bukan sekadar slogan, tetapi bagian keseharian. Mengisi kemerdekaan dengan sesuatu yang mencerdaskan kehidupan: menuntut ilmu.

Apabila ada yang memaknai kemerdekaan dengan menuntut pemenuhan hak-hak nya. Malah demi hak pribadi atau golongannya sampai-sampai mengabaikan hak-hak orang lain atau kepentingan umum. Maka anak-anak Rumah Belajar, belajar memaknai kemerdekaan dengan menuntut diri mereka sendiri memenuhi kewajiban-kewajibannya.


gak pake mecin

15 Agustus, 2015

Radya sedang menikmati semangkuk bakso di warung ketika seorang pembeli datang memesan bakso. “Bungkus satu ya bang, baksonya saja, gak pake mecin,” begitu pesan si pembeli kepada Tukang Bakso. Tiba-tiba Radya meletakkan sendoknya dan berhenti makan.

“Ada apa mas?” tanya Baba. “Ini pakai mecin gak, Ba?” Radya balik bertanya. Rupanya ia tersadar ketika memesan bakso tadi, lupa mengatakan kepada Tukang Bakso agar tidak menabur mecin pada mangkuknya.

“Barangkali ada, memangnya kenapa?” Baba  kembali bertanya. “Kalau pakai mecin, mas gak boleh makan,” jawab Radya. “Siapa yang tidak membolehkan?” selidik Baba. “Iya, kan itu makanan tidak sehat, tidak boleh dimakan,” Radya menjelaskan.

“Eh, mas. Tahu gak jika di PopMie yang kamu suka makan itu ada mecinnya,” kata Baba. “Emang?” Radya terperanjat, “masak sih, Ba?” Baba mengangguk. “Yah, masak Radya gak boleh makan PopMie lagi?” ujar Radya sesal..

“Sudah, sekarang habiskan saja baksonya, besok-besok kalau makan di luar ingat kita pesan ke penjualnya tanpa mecin, ya,” kata Baba memberi solusi. “Iya deh,” Radya kecewa, “besok-besok Radya gak lupa pesan itu, gak pakai mecin.


%d blogger menyukai ini: