Terorisme menurut bahasa adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik. Kata terorisme sendiri berasal dari bahasa Perancis yang mengacu secara khusus kepada aksi teror yang dilakukan oleh pemerintahan Perancis pada tahun 1793-1794. Terorisme menjadi topik hangat kembali setelah beberapa peristiwa pengeboman. Aksi-aksi teror menyita perhatian publik di media massa maupun media sosial. Tidak sedikit yang menarik benang merahnya ke kaum muslim, walaupun tidak melulu, karena para pelaku teror itu kebanyakan beragama Islam.
Dari sisi ideologis, kebanyakan teroris meyakini bahwa pemerintah yang sah bukanlah ulil amri yang patut dipatuhi, yang boleh diperangi, karena dianggap kafir baik karena secara personal bukan muslim atau karena hukum yang dibuat bukan di atas dasar Kitab dan Sunnah. Adapun dari sisi ekonomi dan sosial, terorisme muncul di tengah keputusasaan dan hadir untuk memenuhi harapan. Terorisme berkembang sebagai reaksi atas masalah ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, praktik korupsi, dan lahir dari sikap inferior yang ekstrem.
Di dalam sejarah Islam, pemikiran seperti ini berasal dari dua sumber: Dzul Khuwaishirah dan Abdullah bin Saba’. Diriwayatkan bahwa Dzul Khuwaishirah meragukan keadilan Rasulullah -sallallahu alaihi wasallam- dalam membagi ghanimah (harta rampasan perang). Para pengikutnya disebut sebagai Haruri atau lebih terkenal dengan istilah Khawarij. Pemberontakan besar mereka yang pertama telah menyebabkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan -radiyallahu anhu.
Adapun Abdullah bin Saba’ telah meramu pemikiran Khawarij ini, menempelkannya kepada sebuah golongan politis dan membungkusnya dalam sebuah akidah baru bernama Rafidhah alias Syiah. Kaum ini tidak mengakui kepemimpinan yang sah kecuali kepemimpinan dari kalangan mereka sendiri. Pemberontakan dan aksi-aksi teror berikutnya di dalam peradaban Islam pastilah dilakukan oleh kedua saudara kembar ini: Khawarij dan Syiah, atau oleh orang-orang yang teracuni oleh pemikiran mereka.
Ibarat tanaman, bibit terorisme tumbuh subur dalam lingkungan yang korup, mendapat pupuk dari pemikiran ekstrem, dan mendapat oksigen melalui publikasi media massa. Tidak dimungkiri pula adanya teror yang dilakukan dan sengaja dipelihara untuk memenuhi kepentingan dan untuk tujuan tertentu. Bagaimanapun terorisme memberikan pelajaran bahwa sikap bijak dalam beragama, menjaga persatuan dan memperjuangkan keadilan adalah hal-hal yang diperlukan untuk mengatasinya.