Menjamak salat zuhur dan asar atau magrib dan isya di saat sakit, adalah salah satu pilihan fikih.
Pilihan ini bersandar pada ayat Alquran bahwa Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan, dan hadits Ibnu Abbas radiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah shallalllahu alaihi wasallam pernah menjamak salat di Madinah bukan karena khawatir maupun safar, melainkan karena beliau bermaksud tidak menyulitkan umatnya.
Menurut Imam Nawawi, sebagian imam membolehkan menjamak salat ketika bermukim karena suatu keperluan tapi tidak dijadikan kebiasaan.
Mengapa disebut pilihan fikih? Karena ada dua pendapat tentang menjamak salat ketika sakit: yang membolehkan dan yang tidak membolehkan.
Yang membolehkan menggunakan dalil umum dan asumsi bahwa sakit adalah kondisi menyulitkan, bukan kebiasaan, dan suatu keperluan.
Yang tidak membolehkan menggunakan alasan bahwa tidak ada dalil yang pasti mengenai kebolehan menjamak salat ketika sakit, padahal Rasulullah pernah beberapa kali sakit tetapi tidak menjamak salat. Sedangkan dalil umum dan asumsi tidak dapat dijadikan hujjah.
Kedua pendapat tersebut telah dikemukakan oleh para imam mujtahid dari kalangan Hanabilah, Malikiyah, Hanafiyah dan Syafi’iyah. Bagi kita yang awam dipersilakan mengambil mana yang dapat dipakai.
Biarlah tugas mengkritik itu kita serahkan kepada para ulama mujtahid. Sebagai orang sakit tugasnya adalah bertobat, berobat, makan menu sehat dan beristirahat yang cukup.
@ndi.ep, 15121438
picture by @karunjw
– at RS Puri Cinere
View on Path