21 Oktober, 2016
“Kamu gak minum?” Sang tuan rumah bertanya kepada saya. “Agama saya melarangnya,” saya menjawabnya. “Teman-teman kamu yang muslim itu juga minum,” tanyanya penasaran. “Barangkali mereka punya alasan tersendiri,” jawab saya. “Saya hanya menjalankan agama. Memang minum itu ada manfaatnya dan juga ada keburukannya. Tapi keburukannya lebih besar daripada manfaatnya. Maka itu saya tidak minum,” saya mencoba menjelaskan.
“Kamu juga gak makan babi?” Dia bertanya lagi. “Babi, bangkai dan darah, juga terlarang bagi kami,” jawab saya. Dia bertanya, “Mengapa?” Saya pun menerangkan, “Karena babi, bangkai, dan darah itu kotor. Semua yang kotor terlarang bagi kami dan tidak menyehatkan.” Sang tuan rumah tampak mengerti, lalu saya melanjutkan, “Bukankah masih banyak makanan lain yang bersih, bermanfaat dan menyehatkan?”
Tuan rumah berkata, “Betul juga apa yang kamu katakan.” Saya berkata, “Itulah mengapa agama kami adalah rahmat. Karena semua yang halal dan baik itu bisa dinikmati semua orang. Bermanfaat dan menyehatkan.” Kami pun saling tersenyum lalu melanjutkan menikmati hidangan masing-masing.
#toleransi
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
jalan setapak | Ditandai: babi, bersih, halal, haram, kotor, makanan, minum, sehat, toleransi |
Permalink
Ditulis oleh andi
20 Oktober, 2016
biasanya untuk penerbangan luar negeri dengan maskapai asing, saya akan memesan “moslem meal” untuk hidangan makan. kebetulan saat itu saya lupa memesan, jadilah saya disuguhi bubur oleh pramugari cathay untuk sarapan saya. ketika sedang mengunyah bubur, ada dagingnya, lalu saya panggil pramugari dan bertanya, “ini daging apa ya?” pramugari itu meminta waktu untuk melihat menu dulu kemudian dia kembali dan mengonfirmasi bahwa itu daging babi.
saya katakan kepadanya bahwa saya tidak bisa makan daging babi, apakah ada menu untuk muslim. Dia minta maaf, pemesanan menu khusus sebaiknya dilakukan di darat. tetapi dia memberikan solusi untuk menu vegetarian yg stoknya ada lebih. di menu itu ada daging buatan dari tahu. jadilah selama penerbangan itu saya sebagai vegetarian.
#toleransi
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
jalan setapak | Ditandai: babi, halal, haram, maskapai, pesawat, toleransi |
Permalink
Ditulis oleh andi
20 April, 2015
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ .
“Sesungguhnya zaman itu berputar seperti biasanya sejak Allah menciptakan langit dan bumi, setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedangkan Rajab pertengahan antara Jumada (Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim)
http://yufidia.com/keutamaan-bulan-rajab-dalam-sorotan
View on Path
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
jendela surau | Ditandai: bulan, haram, mulia, rajab |
Permalink
Ditulis oleh andi
12 Maret, 2014
1.
“هل تتكلم العربيه؟”
Seseorang tiba-tiba memberi salam kepada saya yang sedang berjalan di pelataran Masjid Nabawi dan bertanya dengan pertanyaan tersebut. Tergagap, saya pun menjawab, “I am sorry, أنا لا أتكلم العربية”
Orang itu tersenyum kemudian mengucapkan terima kasih dalam bahasa arab dan pergi meninggalkan saya. Saya mengira dia hendak menanyakan sesuatu namun tidak jadi karena saya tidak berbahasa yang sama dengannya.
2.
Lain waktu saya menghadiri majelis tahsin alquran setelah subuh dibimbing seorang syaikh. Setiap hadirin selesai membaca, syaikh mengomentari dan bercakap sebentar dengannya. Pada giliran saya membaca beliau menyimak dengan saksama, kemudian mencukupkan bacaan saya dan bertanya, “جيد ، هل أنت أندونيسي؟”
Terkesima, saya pun menjawab, “نعم، أنا اندونيسي”
Beliau tersenyum dan mendoakan keberkahan lalu beralih kepada giliran berikutnya.
3.
Usai mengikuti pengajian tafsir Juz Amma berbahasa Indonesia di Masjid Nabawi yang dibawakan oleh Ustaz Firanda, seorang pemuda mendatangi saya dan bertanya, “Excuse me, in what language the talk was presented?” Saya pun menjawab pertanyaannya dengan bahasa Inggris dan terjadi percakapan beberapa saat dengannya. Pemuda yang berasal dari suatu daerah di Turki itu tidak terlalu fasih berbahasa Inggris namun kami berusaha saling memahami.
4.
Pada kesempatan saya menghadiri majelis taklim bada magrib di Masjidil Haram, saya berharap dengan beraneka ragamnya peziarah mendapati orang yang saya dapat berkomunikasi dengannya. Saya membuka pertanyaan dengan orang yang duduk di samping saya, “Excuse me, who is the sheikh who was giving a lesson?” Orang itu pun menjawab, “باللغة العربية، من فضلك”
Saya kaget, lalu bertanya dengan terbata-bata, “ما هو اسم الشيخ؟” Orang itu pun menjawab, “أنا لا أعرف؟” Kami pun kembali menyimak pelajaran tanpa berpanjang kalam.
5.
Setiap waktu salat berjamaah yang saya hadiri di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi, saya merasa bersyukur dapat menjadi salah seorang makmum. Menikmati kesyahduan lantunan qiraah para imam yang selama ini bacaannya hanya didengar melalui rekaman. Namun untuk menghayatinya sepenuh hati, barulah pada ayat-ayat yang sering saya dengar atau yang saya hafal dan diketahui maknanya.
6.
Suatu ketika saya mengunjungi maktab atau perpustakaan yang berada di sisi barat Masjid Nabawi. Melihat koleksi buku-buku yang terpampang di sana, terbayang betapa banyak pengetahuan yang tersedia dan siap untuk dibaca oleh para penuntut ilmu. Saya memindai setiap rak mencari-cari buku yang dapat saya baca. Hati dan perasaan saya bergolak, tak terasa saya pun menitikkan air mata. Mendapati diri ini tak mampu memetik sedikitpun faidah dari ribuan buku yang ada, hanya karena kemampuan berbahasa yang minim.
7.
-epilog-
Dari Hasan Al-Bashri, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.”
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
beranda, jalan setapak | Ditandai: alquran, arab, bahasa, haram, ilmu, imam, Inggris, kalam, majelis, maktab, masjid, nabawi, pengetahuan, percakapan, perpustakaan, qiraah, tahsin, taklim, turki, umrah |
Permalink
Ditulis oleh andi
6 April, 2013
Berkembangnya kesadaran penggunaan logo halal pada produk-produk konsumsi memberikan perlindungan hak bagi konsumen muslim. Sayangnya di antara konsumen muslim kemudian tergesa-gesa menghalalkan dan mengharamkan suatu produk sebatas pada ada dan tidaknya logo halal. Padahal ketiadaan logo halal bukan berarti produk tersebut haram, karena kaidahnya setiap produk konsumsi itu halal kecuali ada dalil yang tegas mengharamkannya. Padahal keberadaan logo halal yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi halal belum tentu benar-benar halal, karena adanya perselisihan fikih terhadap suatu produk sedangkan pihak lembaga cenderung kepada pendapat yang menghalalkannya. Kondisi demikian memungkinkan sekali munculnya konsumen yang malah menghindari produk berlogo halal namun hatinya merasa terpaksa dengan menerima produk tanpa logo halal.
Oleh karenanya diperlukan perhatian para praktisi halal (penggiat dan produsen) serta perhatian para konsumen muslim untuk kembali mengaji agamanya di bawah bimbingan ulama yang lurus akidahnya sehingga dapat menghilangkan keraguan dalam menetapkan halal. Supaya nyaman dan tenang dengan produk berlogo halal, serta tidak mengharamkan produk yang belum berlogo halal kecuali yang sudah jelas keharamannya secara syariat.
والله أعلم بالصواب
—
rujukan:
- http://asysyariah.com/kesamaran-yang-mengancam.html
- http://majalahsakinah.com/2011/09/antara-halal-haram-ada-syubhat/
- http://rumaysho.com/belajar-islam/akhlak/4169-meninggalkan-perkara-syubhat.html
Menyukai ini:
Suka Memuat...
1 Komentar |
beranda, jendela surau, sumur di ladang | Ditandai: asysyariah, dalil, fikih, hak, halal, halal haram, haram, jaminan, konsumen, logo, logo halal, mengaji, MUI, praktisi, produsen, rujukan, sertifikat, syariat, syubhat |
Permalink
Ditulis oleh andi
31 Maret, 2013
Cacing tanah yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah dengan mengurai zat-zat organik, secara tradisional dikenal juga dengan khasiatnya yang seketika meredakan demam. Di dalam literatur Islam, cacing tanah dikelompokkan ke dalam الحشرات atau binatang melata. Penggunaannya untuk pertanian dan peternakan tidak diragukan kebolehannya. Namun penggunaan cacing tanah untuk dimakan diperselisihkan, karena tidak ada dalil yang tegas mengharamkannya.
Merujuk kepada pendapat yang dianggap lebih kuat, kebanyakan binatang melata diharamkan untuk dimakan oleh seorang muslim. Alasan keharamannya bukan karena menjijikkan, sedangkan kriteria jijik berbeda-beda pada setiap kaum, melainkan karena tidak dapat disembelih. Binatang yang matinya tidak disembelih berstatus sebagai bangkai. Sebagai binatang yang darahnya tidak mengalir, bangkai cacing tanah tidaklah najis. Tetapi Allah telah mengharamkan untuk memakan seluruh bangkai kecuali dua jenis yaitu bangkai hewan air dan belalang.
Bolehnya memakan yang haram hanya dikhususkan pada kondisi darurat. Mayoritas ulama sepakat bahwa keadaan darurat yang dimaksud adalah pada keadaan yang menyebabkan kematian jika tidak memakannya. Kalau masih ada obat lain walaupun reaksi penyembuhannya lambat, tidak dianggap sebagai darurat.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم sangat menekankan umatnya untuk menghindari pengobatan dengan yang haram kecuali sama sekali tidak menemukan obat pengganti yang halal atau diperkecualikan oleh dalil. Di sinilah keimanan seorang hamba diuji. Apakah ia menyerah kepada keadaan dengan memakan obat mujarab walaupun kehalalannya diragukan atau tetap istikamah dalam pendirian imannya, yaitu berobat dengan yang halal dan bersabar menjalani takdir. Semoga Allah memberi pahala.
والله أعلم بالصواب
—
rujukan tulisan:
1. 2. 3.
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
jendela surau | Ditandai: air, bangkai, belalang, berobat, binatang, cacing, cacing tanah, crawling, creature, darah, darat, darurat, decomposter, dekomposer, ekstrak, halal, haram, hasyarat, hewan, ikan, iman, islam, istikamah, jijik, keimanan, kematian, kompos, literatur, literatur islam, makan, melata, mengalir, menjijikkan, najis, obat, pengganti, pengobatan, penyembuhan, peternakan, rasulullah, rujukan, sabar, sembelih, sepakat, substitusi, syubuhat, ujian, vermint |
Permalink
Ditulis oleh andi
19 November, 2011
Dari sahabat yang mulia Abu Syuraih Khuwailid bin Amr al-Khuzai al-Adawi semoga Allah meridainya, ketika Amr bin Said bin Aas mengirim pasukan ke Makkah aku berkata kepadanya, “Izinkanlah kepadaku wahai Amir, untuk mengabarkan kepadamu sebuah hadits yang diucapkan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasalam di siang hari pada Hari Pembukaan (Makkah), aku mendengarnya dan aku memahaminya serta aku melihat dengan mata kepalaku, ketika itu Rasulullah sallallahu alaihi wasalam memulai khutbahnya dengan memuji dan menyanjung Allah subhanahu wa ta’ala kemudian berpesan, ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan yang mengharamkannya bukanlah manusia, maka tidak halal bagi seseorang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk menumpahkan darah di sana, dan tidak diperbolehkan menebang pepohonannya. Jika sekiranya ada yang bertanya bagaimana Rasulullah mengecualikannya (yaitu dengan mengirimkan pasukan pada Hari Pembukaan Makkah) , maka beritahukan kepadanya, “Allah telah memberikan izin untuk Rasul-Nya dan tidak (mengizinkannya) untuk kalian, sedangkan izin tersebut hanya sesaat untuk hari ini saja, adapun setelah itu sampai hari kiamat tidak diperbolehkan sama sekali (kembali status keharamannya). Maka hendaklah orang yang hadir menyampaikan berita ini kepada orang yang tidak hadir.'” Kemudian ditanyakan kepada Abu Syuraih, “Apa yang diucapkan oleh Amr?” Dia mengatakan,”Aku lebih tahu tentang perkara itu daripada engkau wahai Abu Syuraih! Sesungguhnya benar apa yang kamu ucapkan, tetapi Makkah tidak dapat melindungi orang yang bermaksiat, yang lari dari pembunuhan dan lari dari pengkhianatan.” [HR Al-Bukhari]
http://www.ziddu.com/download/17413844/MF_HaditsKeharamanMakkah_UstAbdulBarr.mp3.html
Baca entri selengkapnya »
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
jendela surau | Ditandai: Abdullah, Abu Syuraih, Amr bin Said, haram, Ibn Zubair, Madinah, Makkah, Muawiyah, Yazid |
Permalink
Ditulis oleh andi
24 Maret, 2011
Masih hangat, dan barangkali akan terus hangat, permasalahan pengharaman terhadap penghormatan kepada bendera. Sejak A. Hassan di zaman Sukarno hingga beberapa hari yang lalu KH Cholil Ridwan menyatakan hal demikian. Kali ini pernyataan kiai Cholil menjawab sebuah kasus seorang siswa yang dikeluarkan dari sekolah gara-gara tak mau hormat bendera, yang dimuat dalam rubrik konsultasi agama di situs Suara Islam Online. Dan gara-gara pernyataan itu, goncanglah jagad media offline maupun online, ramailah twitter dan forum-forum di jaringan sosial. Sahut-menyahut antara yang mendukung dan yang menolak, menghina-hina, bahkan mencaci maki. Sekali lagi, isu agama memang sangat sensitif, yang pada mulanya terbatas hanya pada pemeluknya, jadi meluas, bahkan pemeluk lain agama pun ikut serta. Tetapi demikianlah risiko yang harus dihadapi di zaman informasi.
Melihat persoalan bendera, jika dilihat dari riwayatnya kita akan dengan mudah mendudukkan persoalan, dan dengan mudah menyimpulkan baik secara akal, nurani maupun dalil mengenai penghormatan terhadap bendera.
Bendera telah dikenal oleh peradaban manusia sejak 4,000 tahun yang lalu. Bendera pertama diketahui dibuat dari logam atau lembaran kayu berukiran. 2,000 tahun kemudian bendera dibuat dari kain. Penggunaan bendera pada awalnya sebagai penunjuk. Para ksatria menggunakan bendera sebagai panji untuk membedakan mana kawan mana lawan di medan peperangan. Bendera juga digunakan mengirimkan pesan dari seseorang kepada suatu kaum, misalnya bendera merah sebagai peringatan bahaya, bendera putih sebagai tanda menyerah, bendera semaphore untuk mengirim pesan dalam kepanduan. Para bajak laut menggunakan bendera hitam bercorak tengkorak dan tulang manusia. Selain itu juga menyatakan identitas suatu kaum, digunakan sebagai tanda-tanda dalam pelayaran, penguasaan wilayah dan sebagainya.
Pada abad pertengahan ketika lalu lintas pelayaran sangat diminati untuk transportasi barang dan manusia, bendera digunakan untuk menunjukkan negeri asal muasal kapal. Barulah pada akhir abad ke-18 bendera dimanfaatkan sebagai alat yang memancing emosi dan sentimen nasionalisme. Sebagai perlambang negara, tanpa banyak kata maupun gambar, bendera mencerminkan jati diri dan cita-cita negara tersebut. Sejarah suatu bendera negara dapat menjadi unsur penting dalam membangkitkan sentimen kebangsaan dari rakyatnya.
Melihat sejarah bendera, bagaimanapun hanyalah selembar kain, tidak lebih tidak kurang, walaupun bagi sebagian orang memiliki arti lebih. Meletakkan bendera pada kedudukan asalnya, apakah sebagai identitas suatu negara dan bangsa maupun sekadar kain yang dijadikan dekorasi pada saat perayaan, haruskah menjadi masalah yang sangat fundamental, sampai-sampai mengeluarkan seorang pelajar dari sekolahnya?
Menyukai ini:
Suka Memuat...
1 Komentar |
bilik madah, jendela surau | Ditandai: bendera, cholil ridwan, haram, hormat, riwayat, sejarah |
Permalink
Ditulis oleh andi
21 April, 2010
Status fb seorang teman: “tidak ada nash yang secara explisit mengharamkan “kodok” … tapi teteup aja … kebayang kalo misalnya nyantap kodok … geli2 gimanaaa gituh ! bener gak? 😀“, telah membuat saya mengaji kembali tentang makanan yang halal dan yang haram. Saya buka kembali file-file lama dan saya dapatkan beberapa hal:
Hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Apabila suatu hewan disebut haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seekor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.
Lalu ada pertanyaan mengapa anjing tetap haram dimakan padahal tidak dilarang untuk dibunuh?
Baca entri selengkapnya »
Menyukai ini:
Suka Memuat...
8 Komentar |
jendela surau | Ditandai: amfibi, anjing, bangkai, buas, bunuh, fb, halal, haram, ikan, katak, KBBI, kodok, sembelih, Syafi'i |
Permalink
Ditulis oleh andi
22 Maret, 2010
Menyimak acara pro-kontra di TVOne mengenai fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh majelis tarjih Muhammadiyah, membuat hati miris. Betapa urusan halal-haram yang merupakan ranah hukum agama diperdebatkan dengan segala kondisi aktual. Sebagian mengatakan bahwa fatwa tersebut adalah ijtihad yang boleh diikuti atau tidak. Sebagian lagi mengatakan bahwa urusan halal-haram bukan sekedar boleh ikut atau tidak tetapi berdampak akhirat. Sebagian meminta agar tetap dimakruhkan saja. Sebagian mempertanyakan kredibilitas yang mengeluarkan fatwa. Sebagian menyayangkan fatwa tersebut dikeluarkan tanpa ada solusi bagi rantai produksi tembakau dan nasib para petaninya. Sebagian memilih supaya rokok diatur melalui peraturan pemerintah sebagaimana miras telah diatur.
Memang urusan agama jika ingin diperdebatkan dan dimasukkan ke dalam logika berpikir manusia, apalagi yang membahasnya adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, maka akan panjang urusannya. Untunglah, Karni Ilyas sang moderator yang juga perokok berat, menutup perdebatan dengan mengatakan bahwa ranah agama harus dikembalikan kepada Alquran dan Hadits, kemudian mengajak hadirin maupun pemirsa untuk bersama mencari arah solusi positif atas dampak fatwa tersebut.
—
Rokok memang secara lugas tidak terdapat di dalam Alquran dan Hadits karena ia merupakan hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, sehingga masuk ke dalam perkara syubuhat (samar). Dan ianya menjadi dialog panjang para ulama. Sebagian ulama mengambil hukum makruh (dibenci dan tercela), sedangkan sebagian besar ulama mengambil hukum haram (terlarang dan berdosa) karena rambu-rambu fikih mengarahkan rokok dan merokok lebih cenderung kepada haram.
Jika sesuatu yang samar-samar itu dibenci dan tercela, tentulah lebih baik bagi seorang muslim menjauhi perkara tersebut, supaya tidak terjatuh kepada hal-hal yang dapat menjerumuskannya kepada yang haram, sebagaimana hadits dari sahabat Nu’man bin Basyir radliyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara samar (syubhat/tidak jelas halal haramnya) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka siapa yang berhati-hati dari perkara samar (syubhat) ini berarti ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman, seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia melanggar daerah larangan tersebut. Ketahuilah, setiap raja itu memiliki daerah larangan. Ketahuilah, daerah larangan Allah adalah perkara-perkara yang Allah haramkan. Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal darah. Apabila baik segumpal darah itu maka baik pula seluruh jasad. Sebaliknya apabila rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah segumpal darah itu adalah hati”. (Hadits riwayat Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim 1599)
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Leave a Comment » |
beranda, jendela surau | Ditandai: fatwa, halal, haram, karni ilyas, makruh, merokok, muhammadiyah, rokok, syubuhat, TVOne |
Permalink
Ditulis oleh andi