Nomor telepon muncul tanpa nama di layar ponsel, ketika diangkat terdengarlah suara perempuan (P) di seberang.
P: “Halo, selamat siang.”
Saya (S): “Selamat siang.”
P: “Pak Eka, saya P dari DBS.”
S: “Oh iya mba P, ada apa ya?”
P: “Bapak sudah dapat penawaran KTA?”
S: “KTA apa itu mbak?”
P: “Kredit tanpa agunan, Pak.”
S: “Oh, pinjaman tunai ya, Mbak?”
P: “Iya, Pak. Kami menawarkan KTA yang cukup ringan bagi Bapak untuk mencicil.”
Biasanya saya langsung tutup atau menolak jika mendapat penawaran kredit semacam ini. Tapi kali ini saya coba sebuah test case.
S: “Mbak, kreditnya bebas riba, tidak?”
P: “Riba? Eh, itu bukannya syariah ya, Pak?”
S: “Mbak tahu riba?”
P: “Ya, tahu lah, Pak. Saya kan muslim.”
S: “Nah, karena mbak seorang muslimah. Saya bertanya apakah KTA yang mbak tawarkan itu bebas riba?”
P: “Maksud Bapak?”
S: “Menurut mbak, riba itu apa?”
P: “Riba itu kan bunga, kan Pak? Wah, kalau KTA, ya pakai bunga, Pak.”
S: “Kreditnya pakai bunga? Jadi menurut mbak, sebagai seorang muslimah, bagaimana?”
P: (terdiam sejenak)
Lalu komunikasi telepon pun ditutup.
***