nasib tiang lampu

28 November, 2014

Aku tak mau menjadi seperti tiang lampu,
yang ambruk, patah pada cable box,
yang tak sanggup menahan hempasan angin,
yang rubuh menghalangi jalanan,
yang akan disingkirkan karena tak lagi berguna.

Aku tak mau menjadi seperti tiang lampu,
yang malang nasibnya karena salah desain,
atau mungkin karena salah fabrikasi,
mungkin juga hanya korban korupsi.

(@nd, 28112014) – at Halte TransJakarta Dukuh Atas

View on Path


mobil dinas dan bbm subsidi

19 Juli, 2012

“Mobil dinas Pemerintah, BUMN, BUMD harus menggunakan BBM Non Subsidi,” begitu bunyi spanduk yang terpampang di jembatan penyeberangan, halte bus, dan pagar SPBU Pertamina. Upaya ini merupakan salah satu cara pemerintah menggalakkan kepedulian masyarakat untuk menggunakan BBM Non Subsidi setelah kampanye “BBM Subsidi adalah BBM Miskin” tidak terlalu berhasil. Diharapkan dengan mengawali penggunaan BBM Non Subsidi di lingkungan pemerintahan dan badan usaha milik pemerintah, akan banyak masyarakat kalangan “non miskin” tergerak hatinya untuk mengikuti.

Selama ini diketahui bahwa subsidi yang dialokasikan kepada BBM tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat miskin, malah kebanyakan daripada penggunanya adalah kalangan mampu dan usahawan. Sehingga sempat ada empat bupati yang memprotes  pembatasan BBM bersubsidi di wilayah mereka. Bukan karena memenuhi kebutuhan rakyat miskin yang mereka naungi, namun demi kepentingan bisnis mereka sendiri yang potensi keuntungannya berkurang karena menggunakan BBM non subsidi. Langkah yang diambil pemerintah sebagaimana tertera di spanduk patut diacungi jempol, walaupun patut juga untuk dikritisi.

Bukankah kendaraan dinas pemerintah, BUMN dan BUMD mendapatkan uang pengganti BBM sesuai pemakaian? Artinya sudah ada subsidi bagi kendaraan dinas. Jika menggunakan BBM bersubsidi, maka dianggap terdapat subsidi kembar. Namun tidak berarti jika menggunakan BBM non subsidi sama dengan bebas subsidi sama sekali. Bahkan subsidinya sama atau bisa jadi lebih besar karena harga BBM yang dua kali harga biasa.

Ada usulan solusi tidak populer yang belum diambil saat ini oleh Pemerintah, yaitu menghilangkan subsidi sama sekali sehingga harga BBM murah menjadi setara dengan harga BBM non subsidi. Dijamin tidak hanya masalah subsidi saja yang terselesaikan secara baik dengan penerapan solusi ini, namun juga masalah lainnya seperti kemacetan akan berkurang, fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis akan tercapai. Semoga.


tak ada macet di houston

6 Juni, 2008

saya lupa, bahwa saya tidak sedang menyetir di jakarta, tetapi di houston. bukan setir kanan tetapi setir kiri. walau gas tetap kaki kanan, tetapi lampu sein, wiper, dan kaca spion harus berubah orientasi. ukuran kelajuan juga bukan diukur dengan kilometer tetapi mile, sehingga 60 mph itu bukan 60 kmph tetapi 100 kmph, makanya kok berasa laju sekali.

lanjutannya dibaca ya


(belum) ada bedanya

2 Juni, 2008

di tengah pertikaian antara pro dan kontra kenaikan BBM, saya gak mau ikut ambil bagian ah… bagi saya keputusan pemerintah, apapun di luar jangkauan kemampuan saya. toh di akhirat nanti para pembuat kebijakan itu yang akan ditanyakan oleh Tuhan. sebagai rakyat, saya hanya butuh jaminan kehidupan saya dilindungi secara hukum 🙂

tapi, lucu juga ya… kenaikan BBM ternyata tidak mengubah gaya hidup perkotaan yang doyan mobil maupun motor. setiap pagi, para pengendara kendaraan bermotor itu rela antri menghabiskan BBM dalam meneruskan parade kemacetan. sepertinya ini semakin membuktikan bahwa subsidi BBM selama ini hanya dinikmati oleh orang-orang tingkat menengah ke atas. lalu ke mana kalangan rakyat miskin?

selanjutnya dibaca ya


nalar tak sampai

16 Februari, 2008

“waduh, itu angkot motong jalan bikin macet aja sih”
“mas, ingat cerita tentang sopir angkot ketika mas jemput de, kita gak ketemu itu?”
“yang menjalankan angkotnya lambat sekali hingga mas pulang de belum sampai juga, itu? memangya mengapa?”
“iya, dia kan cerita ke temannya yang duduk di depan bahwa pernah ditilang polisi gara-gara motong jalur untuk menghindari macet.”
“bagaimana ceritanya?”
“jadi di jalur yang seharusnya dia lalui sedang macet, kemudian dia masuk ke perkampungan yang bukan jalurnya supaya bisa mem-bypass di depan antrian macet. trus kan dia diikuti oleh kendaraan lain. nah pada saat di pintu gang itu dia dicegat polisi dan awalnya disuruh balik, tetapi akhirnya ditilang polisi.”
“trus…”
“iya, dia bilang polisi depok terlalu ketat tidak seperti di jakarta, bypass jalur saja ditilang, dia merasa dengan mem-bypass jalur itu membantu polisi supaya tidak macet.”
“hehehe… mungkin nalarnya tak sampai, de”
“iya, bukankah gara-gara ulahnya itu malah menambah kemacetan baru? di mana membantu tidak macetnya? belum lagi saat mengantar de pulang itu dia lambat sekali membawa angkotnya. dia bilang ke kawannya kalau sedang sepi penumpang lebih baik lambat-lambat toh kemungkinan penumpang tambahan sedikit. apakah dia tidak berpikir penumpang angkotnya saat itu ingin buru-buru sampai ke tujuan?”
“maklumlah, tak semua orang nalarnya sampai ke sana de. sama dengan kebijakan pemerintah begini begitu, sudah ditentang sana-sini. bukankah lebih baik kita berprasangka baik bahwa pemerintah sudah berupaya sesuai kemampuan mereka mengatur negara?”
“iya, padahal berprasangka baik itu kan gak ada ruginya, kok kebanyakan kita seperti sopir angkot yang mikirin diri sendiri aja?”
“begitulah kalau nalar kita tak sampai, selalu mempermasalahkan yang di luar kemampuan kita.”
“adapun oknum pemerintah juga sering nyusahin rakyat, ngurusin perutnya sendiri bagaimana.”
“mas kira, cukup mengasihani mereka, nalarnya gak sampai :D”


semua jadi macet :p

15 Februari, 2008

ternyata tidak ada perubahan yang signifikan selama 3 bulan di jalur busway (baca posting 3 bulan lalu di sini). semua koridor kecuali koridor I, bebas dari lancar alias macet selalu.

menjadi polantas atau dishub yang ditugaskan di jalanan tentu sangat pusing dengan kelakuan pengguna jalan yang menyerobot jalur busway. terpaksalah mereka mengatur supaya jalanan tetap lancar dengan mengorbankan penumpang bus transjakarta. bayangkan saja mereka harus berkutat dengan becek dan hujan kadang-kadang panas terik, sementara para pemakai kendaraan pribadi asyik menggerutu dalam belaian AC tanpa perlu kepanasan atau kehujanan.

yang perlu jadi perhatian adalah kemana moral para pengendara mobil pribadi yang menyerobot jalur busway? pengennya sih gak mau macet dengan masuk jalur busway. tetapi ulah mereka malah membuat macet jalur busway. mengapa jalur busway bisa lebih macet daripada jalur biasa? karena jalur busway hanya menyediakan satu lajur, sedangkan jalur biasa lebih dari dua lajur. selain itu jalur busway dibatasi oleh separator sehingga menyulitkan pengguna melakukan manuver salip menyalip yang sangat mudah dilakukan di jalur biasa.

apakah para penyerobot jalur busway itu tidak menyadari bahwa mereka telah bersalah berlipat-lipat? pertama, menyerobot jalur busway adalah pelanggaran karena ada tanda verboden dengan tulisan “kecuali busway”. kedua, menyerobot membuat macet jalur busway sehingga bus transjakarta tidak bisa mengantar penumpangnya secara cepat sesuai harapan mereka. ketiga, menyerobot adalah mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum dan ini merupakan kesalahan. keempat, para penumpang busway menggerutu dan menyumpahserapahi ulah para penyerobot, membuat orang kesal adalah sebuah kesalahan. kelima, para penyerobot berpikir akan lancar tetapi malah membuat macet, ini jelas kesalahan strategi :p.

siapa lagi yang mau menambahi daftar kesalahan?


“susah diterka”

9 Januari, 2008

“susah diterka”: tulisan yang ditempel di kaca jendela belakang kopaja 602 jurusan ragunan-tanah abang itu terbaca olehku yang sedang menunggu bus transjakarta di halte busway departemen pertanian. pagi yang mengacaukan bagiku, karena bangun kesiangan, karena macet di jalan kahfi dan cilandak kko, ditambah menunggu di halte yang sesak oleh calon penumpang yang sama-sama kesiangan.

kopaja 602 itu adalah kopaja kedua yang melintas sejak aku mulai berdiri di halte pagi ini. alhamdulillah, bus yang kunantikan datang, dan kosong (atau sengaja dikosongkan untuk menjemput penumpang). segera saja calon penumpang berebutan masuk dan dorong mendorong untuk mendapat bangku, tak pedulikan lagi tanda himbauan yang ditempel: utamakan wanita hamil, orangtua, orang cacat.

pilihanku naik busway koridor enam ini adalah waktu tempuh yang cepat dibandingkan jika aku menumpang kopaja 602 atau kopaja p20 untuk mencapai kantorku di bilangan kuningan-gatsu. tetapi kondisi di jalanan memang susah diterka: seperti tulisan yang ditempel di jendela belakang kopaja 602 yang kubaca tadi. jika polisi benar-benar menjalankan tugasnya, tak satupun kendaraan umum maupun pribadi yang boleh melalui jalur busway, dan hanya 20 menit saja aku berada di dalam bus transjakarta yang sesak itu. namun ketika polisi sudah kewalahan menghadapi kemacetan, sebagaimana pak gubernur dki yang baru pusing dengan kemacetan di jakarta: mereka hanya berpayah-payah mengatur kendaraan yang berbalik arah tanpa sempat mengalihkan arus yang hendak masuk ke jalur busway. kalau sudah begini butuh 3 hingga 5 kali 20 menit supaya aku dapat turun di halte busway kuningan timur.

dalam gerutu yang meradang, melihat mobil-mobil berpenumpang kurang dari 2 orang menyerobot sehingga membuat jalur busway ikut merasakan kemacetan (padahal bukan itu tujuan diadakannya busway), terbaca lagi olehku tulisan “susah diterka”. Aduhai! beberapa saat lalu, kopaja itu tertinggal jauh di belakang karena menanti penumpang dan sekarang berada di samping bus yang kutumpangi?


kasus bullying dan pemberitaan lebay

15 November, 2007

(belajar dari kasus geng di sman 34) 

sejak kasus sman 34 jadi headline kompas minggu 11 november 2007 lalu, milis-milis dan forum online yang dikelola oleh alumni dan siswa sman 34 ramai dengan thread diskusi. ada yang bertanya-tanya, ada yang mengecam, dan ada yang mencoba mengurai permasalahan, ada yang mencoba mengklarifikasi, bahkan ada yang bersaksi mengenai kejadian sebenarnya berdasarkan apa yang diketahui. tentu saja hal itu bermanfaat bagi keluarga alumni sman 34 karena mendapat informasi yang lebih valid daripada informasi berlebih-lebihan yang terdapat di media massa.

terus terang, pemberitaan “lebay” (baca: berlebih-lebihan) oleh media massa lebih sering berasal dari pihak “korban”, namun sedikit sekali yang berasal dari pihak “pelaku” atau counter part-nya. pemberitaan tidak seimbang akan membuat opini yang tidak sehat dan cenderung pointing finger kepada tersangka. padahal belum tentu semua yang diungkapkan oleh “korban” adalah kenyataan di lapangan. karena “korban” sendiri secara sadar lebih tepat menjadi korban dari persepsi dirinya sendiri atau pelapor (yang notabene adalah ayah “korban”).

ayah mana yang tak tergerak untuk melaporkan kepada pihak berwajib apabila menemukan keganjilan pada anaknya? tentu saja ini wajar. namun jika harus menjadi berita nasional yang dampaknya memperburuk citra sekolah, walaupun pada awalnya “hanya” berniat mengungkapkan adanya “geng” dan “kenakalan” remaja siswa sman 34 (dimana anaknya bersekolah), tentu saja ini menjadi berlebihan. apalagi dengan kelakuan aneh para pencari warta, yang pengen denger sendiri kesaksian “korban” akhirnya malah menjadi bumbu penyedap yang bikin gerah para alumni sman 34.

akhirnya ada beberapa alumni sman 34 menjadi informan para pencari warta, dengan maksud bermacam-macam. tentu saja “kepedulian” seperti ini diperlukan untuk mengembalikan citra positif sman 34. namun bukan aneh apabila ada saja oportunis yang justru memperburuk keadaan dengan membongkar kisah yang seharusnya hanya jadi “rahasia keluarga”. tanpa sadar pemberitaan yang semakin heboh ini menjadi perbincangan berbagai kalangan yang lebih luas, memperburuk keadaan dan tentu saja akan menguatkan eksistensi kepopuleran “korban” dan ayahnya.

dengar-dengar, gubernur dki akan makan es campur (baca: mendukung) “pembasmian” geng yang ada di sman 34 itu. waduh! benar-benar “lebay” !!!

apakah pak gubernur yang terhormat sudah selesai dengan program 100 hari mengatasi kemacetan dan banjir?

lalu apa langkah selanjutnya untuk kasus ini?
perilaku “kriminal” para tersangka memang patut ditindak secara hukum, namun asas peradilan yang berimbang harus mendampingkan para tersangka dengan bantuan hukum supaya mereka mendapat keadilan dari “fitnah” (baca: bumbu-bumbu berita) yang disebarkan media.

perlu ketegasan dari pihak sekolah mengenai sikap mereka menghadapi kasus semacam ini. sudah seharusnya pihak sekolah membangun kembali komunikasi yang baik dengan siswa. terus terang, munculnya geng dan kelakuan aneh siswa dapat saja dipicu oleh kebijakan sekolah yang menuntut teralalu banyak dari siswa, sedangkan potensi siswa sebenarnya tidak diapresiasi dengan baik oleh sekolah.

perlu dukungan lebih baik dari alumni sman 34 yang masih peduli untuk melakukan langkah nyata dalam memperbaiki “kaderisasi” kebaikan kepada para siswa sman 34 dan membangun komunikasi yang baik dengan pihak sekolah, bahwa: “ini lho, para alumni berniat baik dan mendukung sekolah”.

perlu kebijaksanaan para orang tua siswa untuk melihat permasalahan lebih komprehen. bangun komunikasi yang positif dengan anak-anak mereka, sehingga tidak perlu “menunggu” tiga bulan untuk mengendus “keganjilan” perilaku anaknya. tindakan represif ortu kepada anaknya dapat menjadi sikap bullying, karena memaksa anak menuruti kehendak ortu. padahal secara fisik dan kejiwaan, usia sma sudah bukan anak-anak lagi, tetapi orang dewasa yang memiliki pemikiran dan pilihan sendiri. di sinilah peran ortu untuk mengarahkan, bukan memaksakan, supaya perjalanan hidup anaknya lebih mengarah positif dan bermakna.

terakhir, perlunya menghentikan ulah para pencari warta dalam membesarkan kasus internal keluarga sman 34 ini. karena ulah mereka sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan, justru memperburuk keadaan. serahkan saja kepada pihak-pihak yang “bertikai” untuk berdamai. toh mereka bukan selebriti, selebriti seperti Roy Marten saja butuh privasi apalagi para pelaku kasus ini?

ah, tulisan ini hanya segelintir pemikiran dari seorang alumni sman 34.
[andi]


semua gak mau macet! (2)

13 November, 2007

petrol4.gif 

kemacetan di jakarta dan kota-kota besar lainnya adalah keniscayaan bagi negara berkembang. perlu kesabaran dan ketekunan dalam mengatasinya. dan terlebih lagi, perlu dukungan dari masyarakat kota tersebut untuk bekerja sama menyelesaikan masalah dengan arif bijak, bukan dengan menentang kebijakan pemkot.

tetapi kita tidak bisa bilang kemacetan hanya menjadi tanggung jawab pemkot. perlu penyelesaian lebih global melalui kacamata pemerintah pusat. kalau saja para wakil rakyat itu banyak berkoar solusi yang aneh-aneh. saya yang cuma anggota masyarakat punya sebuah solusi: kebijakan BBM.

BBM adalah darah bagi kendaraan dan industri, kebijakan BBM yang bersubsidi jelas tidak membuat masyarakat lebih arif menyikapi kenaikan harga minyak dunia. buktinya mereka tetap adem ayem meluncurkan mobil di jalan-jalan kota besar yang sarat kemacetan untuk arisan membuang energi besar-besaran.

dalam Republik Mimpi, dikatakan bahwa menaikkan harga BBM menyebabkan peningkatan kemelaratan 100 juta penduduk. Ya jelas kalau itu dipukul rata. seharusnya kebijakan BBM bersubsidi harus lebih mengena.

Subsidi BBM jika diterapkan hanya untuk industri, kendaraan umum, kota-kota kecil, daerah terpencil akan memberi jawaban yang pasti akan mengurangi kemacetan secara drastis. Karena masyarakat akan memilih penggunaan transportasi umum daripada pribadi. Bayangkan jika sebuah mobil yang dapat diisi 8-10 orang hanya ditumpangi seorang saja, sedangkan sebuah bus dapat diisi 60-80 orang, atau sebuah gerbong kereta dapat diisi hingga 100 orang.

Cukup tinjau ulang subsidi BBM, insya Allah kemacetan teratasi, masyarakat akan lebih bijak menggunakan kendaraan pribadi dan memilih transportasi umum untuk bepergian. kemudian tugas pemerintah selanjutnya adalah membuat kebijakan transportasi massa yang aman dan nyaman 🙂

bacaan sebelumnya


semua gak mau macet!

13 November, 2007

011.gif 

sebagai pelanggan busway, tentu saja sangat senang kehadiran busway menghindarkan diri dari kemacetan karena busway menggunakan jalur sendiri (yang asalnya mengambil jalur cepat milik kendaraan roda empat lainnya). namun ternyata kehadiran ini tidak disambut gembira bagi pengendara roda empat lainnya, karena jalur mereka menjadi lebih sempit. dan berbagai kesalahan ditimpakan ke muka busway, jangan atasi masalah dengan masalah dong! begitu kata orang-orang bermobil.

gubernur dki yang baru dalam program 100 hari pertamanya untuk mengatasi kemacetan adalah diantaranya dengan membolehkan penggunaan jalur busway yang belum beroperasi untuk dilalui kendaraan. tetapi kebijakan ini gebyah uyah… semua jalur busway yang sudah beroperasi pun (kecuali Koridor I) jadi korban penyalahgunaan kebijakan pak gubernur.

waktu tempuh 20 menit ke kantor pun terpaksa jadi 1 jam lebih gara-gara jalur busway dimakan sama kendaraan lain. sementara polisi mempersilakan mereka masuk ke jalur busway, dishub dki bersusah payah mengalihkan mobil yang masuk untuk keluar dari jalur busway.

ada ketidakadilan polisi, dimana mereka sangat menjaga peraturan lalin di jalur Koridor I(Blok M-Sudirman-Thamrin-Kota), karena jalur itu merupakan jalur percontohan, menilang pengendara motor yang masuk ke jalur mobil, mengusir mobil yang masuk ke jalur busway. tetapi penindakan terhadap pelanggar lalin di jalur koridor lainnya sama sekali “anget-anget tahi ayam”.

semua gak mau macet, tetapi kalau busway yang diperuntukkan sebagai solusi, tolong jangan dipermasalahkan dong!


%d blogger menyukai ini: